Minggu, 14 April 2019

Reviu Buku : Kolonialisme dan Pembentukan Elite Muslim Baru

A. Identitas Publikasi
1.      JUDUL BUKU          : Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan Elite Muslim dalam
  Sejaran Indonesia
2.      PENULIS                   : Jajat Burhanudin
3.      PENERBIT                 : Mizan Media Utama
4.      Tahun Cetak                : Cetakan Pertama, 2012
5.      Tebal Halaman            : 481 Halaman
6.      ISBN                           : 978-979-433-691-5
7.      JUDUL ARTIKEL     : Kolonialisme dan Pembentukan Elite Muslim Baru

B. Ringkasan Isi
            Pada awal bab ini, dijelaskan bahwa komponen penting dalam pembentukan otoritas ulama pada peningkatan pemahaman Islam dan pencapaian kekuatan spiritual adalah mengintegrasikan Islam di Hindia Belanda ke dalam arus perkembangan Islam di Timur Tengah, pengalaman ulama Jawi yang belajar di Mekkah dan Sufisme.
             Kecendrungan intelektual yang dimulai pada abad ke-17 dan 18 semakin menguat pada abad ke-19 pada orientasi syariat, aktivisme tumbuh dan mewarnai diskursus masa itu. Dengan aktivisme ini, islam berorientasi-syariat mengambil bentuk gerakan protes melawan stabilitas politik yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial di Hindia Belanda dan Mekkah dianggap sebagai sumber inspirasi bagi aktivisme anti-kolonial. Gerakan wahabi yang menjadi wadah intelektual dan politik islam di Makkah yang mengilhami munculnya gerakan reformis Islam pra-modern. Gerakan ini bercirikan menerapkan syariah secara tegas bahkan radikal karena terpengaruh ide-ide keagamaan Ibnu Taimiyyah yang menyerukan untuk kembali kepada Islam yang benar yang didasarkan ajaran Islam (alQuran dan Sunnah).
            Dari pemahaman ini, terjadi perlawanan Belanda disebabkan bukan saja terhadap kolonialisme tetapi juga perlawanan terhadap ideologi yang dilakukan Belanda, seperti gerakan Padri di Sumatera Barat (1807-1832), Perang Jawa (1825-1830), Pemberontakan Banten (1888), Perang Aceh (1873 – sekitar 1910). Dari beberapa contoh ini menggambarkan pentingnya peran ulama dalam ranah politik dalam aktivisme anti-kolonial, serta menjadi bukti sejarah yang menunjukkan peranan penting jaringan Timur Tengah terhadap kontribusi ideologi gerakan pemberontakan dan peranan penting ulama bersama pesantren dalam upaya pembaruan yang berorientasi-syariat.
Neo-sufisme menjadi salah satu elemen utama dari diskursus Islam beriorientasi syariat, mendorong umat muslim untuk lebih aktif terlibat dalam persoalan sosial-politik, sekaligus mengkritik aliran sufisme yang mendorong umat muslim untuk berjarak dengan urusan duniawi (‘uzla). Di bawah kekuasaan kolonial, semangat aktivisme ini berubah menjadi sebuah kekuatan sosial-politik yang memberi umat muslim ideologi-berbasis Islam untuk memberontak melawan kekuasaan kolonial.
 Ketika mendapatkan perlawanan yang begitu besar oleh kalangan ulama, pemerintah Belanda mencari jalan baru untuk melancarkan sebuah visi bagi perubahan masyarakat Hindia di masa depan dengan cara memberikan spirit liberalisme yang berarkar di Eropa abad ke-19. Gagasan ini dilakukan oleh Snouck Hurgronje yang mengarahkan perhatiannya kepada elit lokal yang diyakini akan dapat membawa masyarakat menuju situasi dimana mereka dan Belanda dapat hidup berdampingan. Adapun salah satu cara yang dilakukannya adalah dengan menjalankan visi ke Mekkah dengan tujuan untuk memahami jemaah haji Hindia yang senantiasa dicurigai sebagai kelompok yang bertanggungjawab dalam menyebarkan ideologi anti-Belanda. Selian itu juga, Snouck memfokuskan kepada pemuka adat, khusunya penghulu yang menyebabkan fragmentasi Islam di Belanda.
             Hal yang serupa juga dilakukan oleh K.F. Holle, menurutnya bahwa yang bertanggungjawab dalam menyebarkan paham fanatisme Islam di Hindia adalah para haji yang berangkat ke Mekkah, sehingga ia berusaha menarik para elite Priangan (kaum Menak) agar menjauh dari Islam dan semua bentuk unsur Islam-Arab. Adapun salah satu cara yang dilakukannya adalah dengan mengganti tulisan Arab dengan tulisan Latin dan tidak mentoleransi pengaruh para haji dan ulama. Bahkan pengetahuan kolonial mengindetifikasikan penghulu dan ulama sebagai dua domain politik dan kultural yang berbeda dan terpisah, sehingga Holle berupaya untuk menjauhkan para penghulu dari pengaruh Islam dan Arab.  
Dalam sejarah dijelaskan bahwa para penghulu juga melakukan perjalanan intelektual yang sama dengan para ulama, berdasarkan catatan biografis sejumlah penghulu dipercaya  tentang bacaan luas para penghulu terhadap kitab-kitab terkenal. Hal inilah yang menunjukkaan bahwa pengangkatan mereka untuk jabatan tersebut tidak menghalangi untuk menjadi ulama.
            Hasil studi kesarjanaan Belanda pada studi Filologis menemukan apa yang disebut dengan kebudayaan asli dan otentik di Hindia Belanda. Dengan semua hal yang mereka lakukan kepada muslim Hindia, bukan tidak mungkin bahwa para sarjana Belanda cenderung meletakkan teks-teks Islam di bawah keunggulan naskah asli Jawa dikarenakan didorong sentimen anti-Islam. Maka, makin jelaslah bahwa pemerintah Belanda telah mengarahkan para penghulu dan aristokrat pribumi untuk mengikuti jalan yang telah mereka ciptakan, akibatnya penghulu semakin terlibat dalam aktivitas keagamaan dan budaya yang telah ditentukan oleh Belanda. Hal ini membawa mereka untuk makin berjarak dengan para ulama pesantren yang mengalami konsolidasi sedemikian kuat dengan budaya dan pandangan dunia mereka. Dengan semakin tampilnya ulama sebagai elit sosial membuat proyek kolonial terhadap Islam tampak tidak mencari tujuan yang diharapkan.
           
C. ANALISIS ARTIKEL
            Dalam artikel ini diceritakan bahwa upaya yang dilakukan oleh Belanda kepada para ulama Islam bukan saja dilakukan melalui perang fisik, tapi juga perang ideologi. Bab ini membahas sejarah perjuangan para ulama melawan kolonialisme. Dalam bahasan ini juga menceritakan tentang bagaimana strategi para sarjana Belanda (Snouck dan Holle) untuk mempelajari visi yang dilakukan agar masyarakat Hindia mengikuti kolonialisme dengan cara memberikan spirit liberalisme sebagai tolak ukur yang diyakini akan dapat membawa masyarakat menuju situasi dimana pribumi dan Belanda dapat hidup berdampingan.
Perlawanan yang dilakukan oleh ulama adalah karena tidak selarasnya pendidikan dan pengatahuan mereka terhadap Islam. Oleh karena itu, Neo-sufisme menjadi salah satu elemen utama dari diskursus Islam beriorientasi syariat, mendorong umat muslim untuk lebih aktif terlibat dalam persoalan sosial-politik. Semangat aktivisme ini berubah menjadi sebuah kekuatan sosial-politik yang memberi umat muslim ideologi-berbasis Islam untuk memberontak melawan kekuasaan kolonial.
            Buku ini sangat bagus untuk menjawab polemik sejarah tentang kolonial Belanda yang akhirnya membangkitkan para cendikia muslim untuk membentuk elite muslim baru. Permasalahan yang berkembang lahir sebagai jawaban agar kaum elit muslim bangkit dari ‘tidur’ karena terbawa arus kolonialisme yang dapat memecah ideologi.           
             

0 komentar:

Posting Komentar