Minggu, 14 April 2019

Filsafat sebagai Sebuah Pengantar Keilmuan

A. Pengantar Filsafat Ilmu
            Filsafat merupakan sebuah disiplin ilmu yang terkait dengan perihal kebijaksanaan. Kebijaksanaan merupakan titik ideal dalam kehidupan manusia, karena ia dapat menjadikan manusia bersikap dan bertindak atas dasar pertimbangan kemanusiaan yang tinggi (actus humanus), bukan asal bertindak sebagaimana yang biasa dilakukan manusia (actus homini). Beberapa langkah menuju ke arah kebijaksaan itu antara lain:
1.    Membiasakan diri untuk bersikap kritis terhadap kepercayaan dan sikap yang selama ini sangat kita junjung tinggi
2.    Berusaha untuk memadukan hasil bermacam-macam sains dan pengalaman kemanusiaan, sehingga menjadi pandangan yang konsisten tentang alam semesta beserta isinya.
3.    Mempelajari dan mencermati jalan pemikiran ara filosuf dan meletakkannya sebagai ‘pisau analisis’ untuk memecahkan masalah kehidupan yang berkembang dalam kehidupan konkret, sejauh pemikiran itu memang relevan dengan situasi dan kondisi yang kita hadapi.
4.    Menelusuri butir-butir hikmah yang terkandung dalam ajaran agama, sebab agama merupakan sumber kebijaksanaan hidup manusia, tidak hanya untuk kepentingan duniawi, bahkan juga akhirat.[1]
Secara Etimologis, kata falasfah atau filsafat dalam bahasa Indonesia yang merupakan kata serapan dari bahasa Arab. Arti Filsafat berasal dari beberapa bahasa, yaitu bahasa Inggris dan Yunani (Philia = persahabatan, cinta, dan lain sebagainya) dan (sophia = “kebijaksanaan”). Sehingga arti harafiahnya adalah seorang “pencinta kebijaksanaan”.[2]
Ada beberapa definisi filsafat yang telah diklasifikasikan berdasarkan watak dan fungsinya sebagai berikut:
1.    Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara tidak kritis (arti informal).
2.    Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang sangat kita junjung tinggi (arti formal).
3.    Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan, artinya filsafat berusaha untuk mengombinasikan hasil bermacam-macam sains dan pengalaman kemanusian sehingga menjadi pandangan yang konsisten tentang alam (arti spekulatif).
4.    Filsafat adalah analisis logis dari bahasa serta penjelasan tentang arti kata dan konsep.
5.    Filsafat adalah sekumpulan problema yang langsung, yang mendapat perhatian dari manusia dan yang dicarikan jawabannya oleh ahli-ahli filsafat.[3]
Dilihat dari arti praktisnya, filsafat adalah alam berpikir atau alam pikiran. Berfilsafat adalah berpikir. Langeveld, dalam bukunya “Pengantar pada Pemikiran Filsafat” (1959) menyatakan, bahwa filsafat adalah suatu perbincangan mengenai segala hal, sarwa sekalian alam secara sistematis sampai ke akar-akarnya. Apabila dirumuskan kembali, filsafat adalah suatu wacana, atau perbincangan mengenai segala hal secara sistematis sampai konsekuensi terakhir dengan tujuan menemukan hakikatnya.
Beberapa konsep terkait dalam definisi itu. Adapun penjelasannya sebagai berikut:
1.    Wacana. Menandakan bahwa filsafat memiliki cirri kegiatan berupa pembicaraan yang mengandalkan pada pemikiran, rasio, tanpa verifikasi uji empiris.
2.    Segala Hal. Bahwa apa yang dibicarakan merupakan materi filsafat adalah segala hal menyangkut keseluruhan, sehingga disebut perbincangan universal.
3.    Sistematis. Perbincangan segala sesuatu dilakukan secara teratur menurut system yang berlaku, sehingga tahapan-tahapannya mudah diikuti.
4.    Radikal. Hal ini merupakan ciri khas berpikir filsafat. Bahwa asumsi tersebut tidak hanya dibicarakan, tetapi digunakan.
5.    Hakikat. Pemahaman atau hal yang menjadi paling mendasar. Jadi, filsafat tidak berbicara pada wujud atau suatu materi, tetapi berbicara makna yang ada dibelakangnya.[4]
B. Ciri-ciri Berpikir Kefilsafatan
            Adapun ciri berpikir kefilsafatan dapat dikemukakan sebagai berikut:
1.    Radikal; berpikir sampai pada hakikat atau subtansi yang dipikirkan.
2.    Universal; menyangkut pengalaman umum manusia.
3.    Konseptual; merupakan hasil generalisasi dan abstraksi pengalaman manusia.
4.    Koheren dan Konsisten; sesuai dengan kaidah-kaidah berpikir logis dan tidak mengandung kontradiksi.
5.    Sistematik; harus saling berhubungan secara teratur dan terkandung adanya maksud atau tujuan tertentu.
6.    Komprehensif; usaha untuk menjelaskan alam semesta secara keseluruhan.
7.    Bebas; hasil pemikiran yang bebas dari prasangka-prasangka sosial, historis, kultural bahkan relegius.
8.    Bertanggungjawab terhadap hasil pemikirannya.[5]

C. Cabang-cabang Utama Filsafat
            Asas-asas filsafat merupakan suatu kajian yang mengetengahkan prinsip-prinsip pokok bidang filsafat. Dalam hal ini dikaji beberapa bidang utama filsafat, seperti: metafisika, epistemologi dan etika. Ketiga bidang ini dapat dipandang sebagai pilar utama.
a.    Metafisika
Archie J. Bahm mengatakan bahwa metafisika merupakan suatu penyelidikan pada masalah perihal keberadaan.[6]
Beberapa peran metafisika dalam ilmu pengetahuan, yaitu: Pertama, metafisika mengajarkan cara berpikir yang cermat dan tidak kenal lelah dalam pengembangan ilmu pengentahuan. Kedua, metafisika menuntut orisinalitas berpikir yang sangat diperlukan bagi ilmu pengetahuan. Ketiga, metafisika memberikan bahan pertimbangan yang matang bagi pengembangan ilmu pengetahuan, terutama pada wilayah pra anggapan, sehingga persoalan yang diajukan memiliki landasan berpijak yang kuat.

b.    Epistomologi
Epistomologi secara etismologis berarti teori pengetahuan. Persoalan penting yang dikaji dalam epistomologis berkisar pada masalah: asal-usul pengetahuan, peran pengalaman dan akal dalam pengentahuan, hubungan antara pengetahuan dengan keniscayaan, hubungan pengetahuan dengan kebenaran, kemungkinan skepisisme universal, dan bentuk-bentuk perubahan pengetahuan yang berasal dari konseptualisasi baru mengenai dunia.[7]
c.    Aksiologi
Aksiologi artinya teori nilai, penyelidikan mengenai kodrat, kriteria, dan status metafisik dari nilai.  Problem utama aksiologi ujar Runes berkaitan dengan empat faktor penting sebagai berikut:
Pertama, Apakah nilai itu berasal dari keinginan, kesenangan, preferensi, kepentingan, preferensi, keinginan rasio murni dan lain-lain
Kedua, jenis-jenis nilai menyangkut perbedaan pandangan antara nilai intrinsik, ukuran untuk kebijaksanaan nilai itu sendiri, nilai-nilai instrumental yang menjadi penyebab  mengenai nilai-nilai intrinsik.
Ketiga, kriteria nilai artinya ukuran untuk menguji nilai yang dipengaruhi sekaligus oleh teori psikologi dan logika.[8]

D. Fungsi Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu merupakan salah satu cabang dari filsafat. Oleh karena itu, fungsi filsafat ilmu kiranya tidak bisa dilepaskan dari fungsi filsafat secara keseluruhan, yakni :
1.    Sebagai alat mencari kebenaran dari segala fenomena yang ada.
2.    Mempertahankan, menunjang dan melawan atau berdiri netral terhadap pandangan filsafat lainnya.
3.    Memberikan pengertian tentang cara hidup, pandangan hidup dan pandangan dunia.
4.    Memberikan ajaran tentang moral dan etika yang berguna dalam kehidupan.
5.    Menjadi sumber inspirasi dan pedoman untuk kehidupan dalam berbagai aspek kehidupan itu sendiri, seperti ekonomi, politik, hukum dan sebagainya.[9]
Sedangkan Ismaun (2001) mengemukakan fungsi filsafat ilmu adalah untuk memberikan landasan filosofik dalam memahami berbagi konsep dan teori sesuatu disiplin ilmu dan membekali kemampuan untuk membangun teori ilmiah. Selanjutnya dikatakan pula, bahwa filsafat ilmu tumbuh dalam dua fungsi, yaitu: sebagai confirmatory theories yaitu berupaya mendekripsikan relasi normatif antara hipotesis dengan evidensi dan theory of explanation, yakni berupaya menjelaskan berbagai fenomena kecil ataupun besar secara sederhana.[10]

E. Substansi Filsafat Ilmu
Telaah tentang substansi Filsafat Ilmu, Ismaun (2001) memaparkannya dalam empat bagian, yaitu substansi yang berkenaan dengan: (1) fakta atau kenyataan, (2) kebenaran (truth), (3) konfirmasi dan (4) logika inferensi.
1. Fakta atau kenyataan
Fakta atau kenyataan memiliki pengertian yang beragam, bergantung dari sudut pandang filosofis yang melandasinya.
a)    Positivistik berpandangan bahwa sesuatu yang nyata bila ada korespondensi antara yang sensual satu dengan sensual lainnya.
b)    Fenomenologik memiliki dua arah perkembangan mengenai pengertian kenyataan ini. Pertama, menjurus ke arah teori korespondensi yaitu adanya korespondensi antara ide dengan fenomena. Kedua, menjurus ke arah koherensi moralitas, kesesuaian antara fenomena dengan sistem nilai.
c)    Rasionalistik menganggap suatu sebagai nyata, bila ada koherensi antara empirik dengan skema rasional, dan
d)    Realisme-metafisik berpendapat bahwa sesuatu yang nyata bila ada koherensi antara empiri dengan obyektif.
e)    Pragmatisme memiliki pandangan bahwa yang ada itu yang berfungsi.
Di sisi lain, Lorens Bagus (1996) memberikan penjelasan tentang fakta obyektif dan fakta ilmiah. Fakta obyektif yaitu peristiwa, fenomen atau bagian realitas yang merupakan obyek kegiatan atau pengetahuan praktis manusia. Sedangkan fakta ilmiah merupakan refleksi terhadap fakta obyektif dalam kesadaran manusia. Yang dimaksud refleksi adalah deskripsi fakta obyektif dalam bahasa tertentu. Fakta ilmiah merupakan dasar bagi bangunan teoritis. Tanpa fakta-fakta ini bangunan teoritis itu mustahil. Fakta ilmiah tidak terpisahkan dari bahasa yang diungkapkan dalam istilah-istilah dan kumpulan fakta ilmiah membentuk suatu deskripsi ilmiah.
2. Kebenaran (truth)
Sesungguhnya, terdapat berbagai teori tentang rumusan kebenaran. Namun secara tradisional, kita mengenal 3 teori kebenaran yaitu koherensi, korespondensi dan pragmatik (Jujun S. Suriasumantri, 1982). Sementara, Michel William mengenalkan 5 teori kebenaran dalam ilmu, yaitu : kebenaran koherensi, kebenaran korespondensi, kebenaran performatif, kebenaran pragmatik dan kebenaran proposisi. Bahkan, Noeng Muhadjir menambahkannya satu teori lagi yaitu kebenaran paradigmatik. (Ismaun; 2001)
a. Kebenaran koherensi
Kebenaran koherensi yaitu adanya kesesuaian atau keharmonisan antara sesuatu yang lain dengan sesuatu yang memiliki hirarki yang lebih tinggi dari sesuatu unsur tersebut, baik berupa skema, sistem, atau pun nilai. Koherensi ini bisa pada tatanan sensual rasional mau pun pada dataran transendental.
b. Kebenaran korespondensi
Berfikir benar korespondensial adalah berfikir tentang terbuktinya sesuatu itu relevan dengan sesuatu lain. Koresponsdensi relevan dibuktikan adanya kejadian sejalan atau berlawanan arah antara fakta dengan fakta yang diharapkan, antara fakta dengan belief yang diyakini, yang sifatnya spesifik
c. Kebenaran performatif
Ketika pemikiran manusia menyatukan segalanya dalam tampilan aktual dan menyatukan apapun yang ada dibaliknya, baik yang praktis yang teoritik, maupun yang filosofik, orang mengetengahkan kebenaran tampilan aktual. Sesuatu benar bila memang dapat diaktualkan dalam tindakan.
d. Kebenaran pragmatik
Yang benar adalah yang konkret, yang individual dan yang spesifik dan memiliki kegunaan praktis.
e. Kebenaran proposisi
Proposisi adalah suatu pernyataan yang berisi banyak konsep kompleks, yang merentang dari yang subyektif individual sampai yang obyektif. Suatu kebenaran dapat diperoleh bila proposisi-proposisinya benar. Dalam logika Aristoteles, proposisi benar adalah bila sesuai dengan persyaratan formal suatu proposisi. Pendapat lain yaitu dari Euclides, bahwa proposisi benar tidak dilihat dari benar formalnya, melainkan dilihat dari benar materialnya.
f. Kebenaran struktural paradigmatik
Sesungguhnya kebenaran struktural paradigmatik ini merupakan perkembangan dari kebenaran korespondensi. Sampai sekarang analisis regresi, analisis faktor, dan analisis statistik lanjut lainnya masih dimaknai pada korespondensi unsur satu dengan lainnya. Padahal semestinya keseluruhan struktural tata hubungan itu yang dimaknai, karena akan mampu memberi eksplanasi atau inferensi yang lebih menyeluruh.
3. Konfirmasi
Fungsi ilmu adalah menjelaskan, memprediksi proses dan produk yang akan datang, atau memberikan pemaknaan. Pemaknaan tersebut dapat ditampilkan sebagai konfirmasi absolut atau probalistik. Menampilkan konfirmasi absolut biasanya menggunakan asumsi, postulat, atau axioma yang sudah dipastikan benar. Tetapi tidak salah bila mengeksplisitkan asumsi dan postulatnya. Sedangkan untuk membuat penjelasan, prediksi atau pemaknaan untuk mengejar kepastian probabilistik dapat ditempuh secara induktif, deduktif, ataupun reflektif.
4. Logika inferensi
Logika inferensi yang berpengaruh lama sampai perempat akhir abad XX adalah logika matematika, yang menguasai positivisme. Positivistik menampilkan kebenaran korespondensi antara fakta. Fenomenologi Russel menampilkan korespondensi antara yang dipercaya dengan fakta. Belief pada Russel memang memuat moral, tapi masih bersifat spesifik, belum ada skema moral yang jelas, tidak general sehingga inferensi penelitian berupa kesimpulan kasus atau kesimpulan ideografik.
Post-positivistik dan rasionalistik menampilkan kebenaran koheren antara rasional, koheren antara fakta dengan skema rasio, Fenomena Bogdan dan Guba menampilkan kebenaran koherensi antara fakta dengan skema moral. Realisme metafisik Popper menampilkan kebenaran struktural paradigmatik rasional universal dan Noeng Muhadjir mengenalkan realisme metafisik dengan menampilkan kebenaranan struktural paradigmatik moral transensden.[11]
Di lain pihak, Jujun Suriasumantri (1982:46-49) menjelaskan bahwa penarikan kesimpulan baru dianggap sahih kalau penarikan kesimpulan tersebut dilakukan menurut cara tertentu, yakni berdasarkan logika. Secara garis besarnya, logika terbagi ke dalam 2 bagian, yaitu logika induksi dan logika deduksi.[12]







[1] Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, (2009). Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 1-2
[2] Sutardjo A. Wiramihardja, (2007). Pengantar Filsafat. Bandung: PT. Refika Aditama. Hal. 9-10
[3] Titus, Smith dan Nolan, (1984). Persoalan-persoalan Filsafat. Alih bahasa: H. M. Rasjidi. Jakarta: Bulan Bintang. Hal. 11-15
[4] Sutardjo A. Wiramihardja, (2007). Pengantar Filsafat. Bandung: PT. Refika Aditama. Hal. 10
[5] Ali Mudhofi, (1997). Pengenalan Filsafat, dalam Filsafat Ilmu. Klaten: Intan Pariwara. Hal. 17-18
[6] Bahm, Archie, J. (1986), Metaphysics: An Introduction. Albuquerque: Harper and Row Publisher. Hal. 6
[7] Blackburn, Simon. (1994). The Oxford Dictionary of Philosophy. The Oxford University Press. Hal. 123
[8] Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, (2009). Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 9 -28
[9] Agraha Suhandi. (1992), Filsafat Sebagai Seni untuk Bertanya, (Diktat Kuliah). Bandung : Fakultas Sastra Unpad Bandung. Lihat : http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/13/filsafat-ilmu/
[10] Ismaun. (2001). Filsafat Ilmu, (Diktat Kuliah). Bandung : UPI Bandung. Lihat : http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/13/filsafat-ilmu/
[11] Ismaun. (2001). Filsafat Ilmu, (Diktat Kuliah). Bandung : UPI Bandung. Hal. 9. Lihat : http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/13/filsafat-ilmu/
[12] Jujun S. Suriasumantri. (1982). Filsafah Ilmu : Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Sinar Harapan. Hal. 46-49

0 komentar:

Posting Komentar