Maknai Hidup

Hidup ini selalu berwarna, kita tidak bisa menentukan warna hidup kita, tapi kita mewarnai hidup kita, SELAMAT MEWARNAI

Belajar dan Belajarlah

Orang yang hidup itu selalu belajar, kalau tidak mau lagi belajar, maka bersiaplah untuk mati

Tidak ada yang tidak mungkin selama engkau punya Allah

Ketika engkau bertekad menjadi orang yang lebih baik lagi maka Allah akan mendatagkan orang – orang baik di dalam hidupmu untuk menemani langkahmu, Maka Berdolah di dalam setiap Langkahmu

Sukses adalah sebuah kegagalan yang berakhir indah

Wujudkan impianmu jangan takut gagal, karena jika gagal itu artinya lebih baik kamu telah berusaha mengusahakannya daripada tidak sama sekali. Selamat Mencoba

Bersahabatlah dengan Tulus

Sahabat yang baik, akan menegur ketika kita berbuat kesalahan meskipun harus melalui pertengkaran dan perselisihan karena rasa kasih sayangnya

KPI Korwil Sumut

Komunitas Parkit Indonesia Wilayah Sumatera Utara

Senin, 13 Mei 2019

The Ulama in Contemporary Islam : CUSTODIANS OF CHANGE ; Conceptions of the Islamic State


A. Identitas Publikasi
1.      JUDUL BUKU          : The Ulama in Contemporary Islam : CUSTODIANS OF
                                    CHANGE
2.      PENULIS                   : Muhammad Qasim Zaman
3.      PENERBIT                 : PRINCETON UNIVERSITY PRESS
4.      Tahun Cetak                : 2002
5.      Tebal Halaman            : 293 Halaman
6.      ISBN                           : 0-691-09680-5
7.      JUDUL ARTIKEL     : Conceptions of the Islamic State

B. Ringkasan Isi
            Dalam bab ini dijelaskan bahwa sebagai intelektual dan sebagai elit yang berkuasa, kaum modernis sering terus menganggap Islam sebagai bagian penting, bahkan fundamental, dari identitas mereka. Terkadang mereka saling mengalahkan dalam mengakui prinsip bahwa Islam harus memainkan peran penting dalam kehidupan publik. Misalnya, pada tahun1949, Majelis Konstituante Pakistan yang didominasi modernis mengadopsi dengan apa yang disebut Resolusi Tujuan yang memberikan,  antara lain, bahwa "Kedaulatan atas seluruh alam semesta adalah milik Allah SWT saja, dan wewenang yang telah Dia delegasikan kepada Negara Pakistan melalui rakyatnya untuk dilaksanakan dalam batas-batas yang ditentukan oleh-Nya adalah kepercayaan suci”. Resolusi itu lebih jauh menjanjikan bahwa warga negara Muslimakan dimungkinkan untuk mengatur hidup mereka dalam lingkup individu dan kolektif sesuai dengan ajaran dan persyaratan Islam sebagaimana tercantum dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Hal ini terjadi pada masa pemerintahan yang dipimpin oleh Zia al-Haqq pada tahun 1988 yang mengumumkan Penegakan Hukum Syariah bahwa syariah akan menjadi “sumber hukum tertinggi di Pakistan dan Grundnorm untuk panduan pembuatan kebijakan oleh negara”.
Inisiatif-inisiatif Zia al-Haqq dan Nawaz Sharif yang mengislamkan memberi arti penting pada posisi Islam dalam kehidupan publik. Namun, pemerintahan-pemerintahan ini tidak kalah didominasi oleh elit modern yang berpendidikan Barat daripada rezim-rezim lain dalam sejarah Pakistanyang mengakibatkan Zia al-Haqq terbunuh dalam kecelakaan pesawat pada bulan Agustus 1988.
Tidak seperti pemerintah lain, mereka berusaha keras untuk memupuk nikmat ulama. Tetapi pada akhirnya negara tetap curiga terhadap ulama, seperti yang mereka lakukan terhadap para ulama. Apakah itu Dewan Ideologi Islam atauPengadilan Syari'at Federal atau pengumpulan dan pencairan zakat atau keputusan tentang hukum Islam mana yang akan diberlakukan dan bagaimana, para modernis, bukan ulama, yang mengendalikan instrumen islamisasi.
Salah satu pernyataan yang paling berpengaruh oleh ulama Pakistan pada tahun 1951 mengenai Deklarasi 22 poin, yang kemudian diadopsi antara lain menyatakan bahwa:
1.      penguasa dan pemberi hukum sejati adalah Allah,
2.      hukum negara harus didasarkan pada Alquran dan sunah, dan tidak ada hukum yang diizinkan yang bertentangan dengan sumber-sumber dasar ini.
3.      Negara harus didasarkan bukan pada pertimbangan geografi, ras, atau bahasa, tetapi "pada prinsip-prinsip dan tujuan-tujuan yang didasarkan pada kode kehidupan yang disajikan oleh Islam."
4.      Negara harus bertanggung jawab untuk memenuhi perintah Alquran yang diperuntukan menegakkan praktik dan ritual Islam, dan itu adalah untuk membuat ketentuan untuk pendidikan Islam sesuai dengan persyaratan dari sekte Islam "diakui" yang berbeda.
Terlepas dari perbedaan agama atau ras, negara harus menyediakan kebutuhan dasar rakyat, termasuk makanan, pakaian, perumahan, perawatan medis, dan pendidikan, dan memastikan bagi warga negaranya semua hak yang telah diberikan oleh syariah bagi mereka, termasuk hak untuk hidup, kehormatan, agama, kebebasan berekspresi, dan mencari nafkah.
Sekte-sekte Islam yang “diakui” harus menikmati kebebasan beragama dalam batas-batas hukum, dan hal-hal yang berkaitan dengan hukum status pribadi harus diputuskan sesuai dengan mazhab hukum masing-masing. Penghuni non-Muslim negara harus memiliki kebebasan beragama dan hak untuk pendidikan agama mereka sendiri dan pelestarian budaya mereka, dalam batas-batas hukum. Penyebaran pandangan yang bertentangan dengan prinsip dasar dari negara Islam harus dilarang; dan akhirnya, tidak ada penafsiran Konstitusi yang bertentangan dengan Alquran dan sunah.
Untuk sebagian besar sejarah Islam, syariah lebih baik dipahami bukan sebagai kode dalam pengertian modern dari istilah tersebut, tetapi, seperti yang dikatakan Nathan Brown dan yang lainnya, sebagaimana tradisi diskursif yang berkelanjutan diartikulasikan dalam dan melalui praktik-praktik yang terkait dengan pendidikan dan lembaga peradilan.
Dalam masyarakat Muslim kontemporer tertentu masih banyak terdapat penolakan terhadap kodifikasi syariah. Misalnya, di Arab Saudi, banyak ulama melihat kodifikasi sebagai ancaman terhadap otoritas hakim untuk memutuskan kasus-kasus individual dengan pertimbangan pertimbangannya yang dipandu langsung oleh teks-teks kitab suci yang mendasar (ijtihad) atau kepada  hukum sebelumnya.
Ulama modern mengambil pandangan yang lebih luas tentang kekuatan negara: negara tidak boleh hanya membiarkan orang menjalani kehidupan Islam tetapi harus secara aktif menegakkan dan menerapkan hukum Islam, tetapiambivalensi bukan hanya ulama. Kekuatan negara-bangsa modern untuk menyusup ke dalam dan mengatur semua aspek kehidupan warganya berarti bahwa agama menempati tempat yang tidak mudah di mana pun  negara modern. Seperti yang diamati Talal Asad dengan mengacu pada klaim kontradiktif dari negara sekuler modern, negara-bangsa “membutuhkan ruang yang dibatasi dengan jelas yang dapat digolongkan dan diatur: agama, pendidikan, kesehatan, waktu luang, pekerjaan, pendapatan, keadilan, perang"; namun "ruang yang dapat dihuni agama dengan tepat dalam masyarakat harus terus-menerus didefinisikan ulang oleh hukum karena reproduksi kehidupan sekuler di dalam dan di luar negara-bangsa terus-menerus memengaruhi kejelasan ruang itu.
Islamisasi juga berfungsi untuk memperkuat kontrol negara atas masyarakat, untuk memperluas dan memperdalam jangkauannya ke bidang-bidang baru, termasuk aspek kehidupan beragama. Islamisasi juga berfungsi sebagai instrumen untuk meningkatkan otoritas pemerintah sendiri.
Ideologi Mawdudi sangat bertumpu pada gagasan mempersiapkan komunitas baru orang-orang benar, yang berpendidikan baik dalam apa yang ia anggap sebagai norma-norma Islam yang mendasar dan siap untuk memimpin masyarakat di jalur “revolusi” Islam.para pengikut Mawdudi terus berjuang dengan ketegangan antara “pendidikan sebagai rekayasa budaya” dan partisipasi politik aktif dalam apa yang mereka anggap sebagai sistem politik yang inheren cacat.Bagi Mawdudi, Islam dan negara Islam pada akhirnya bersinonim: untuk mempromosikan cara hidup Islam, otoritas negara dan intervensi aktif sumber dayanya sangat penting, sehingga upaya untuk mendirikan negara Islam sendiri menjadi panggilan utama seorang Muslim.

C. Analisis Artikel
Negara, bagi Maududi, bukan hanya sarana untuk mencapai tujuan, yaitu, untuk hidup sesuai dengan norma-norma dan dalam mengejar tujuan yang dimaksudkan oleh Allah ; itu menjadi tujuan itu sendiri,bahkan ketika mereka berusaha menggunakan negara sebagai instrumen Islamisasi dan untuk menegaskan peran khusus mereka di dalamnya, para ulama biasanya tidak mau memberikan kekuasaan besar kepada negara atau bahkan untuk membuat segala sesuatu yang lain.
Islam adalah sesuatu yang didasarkan pada syariah, maka itu adalah orang yang paling berpengetahuan dalam syariah yang harus dipercayakan dengan pemerintahan negara seperti itu.
Ada dua hal kemungkinan yang oleh para ulama lihat di negara sebagai instrumen islamisasi, kemudian, sering diimbangi oleh bahaya bahwa itu mewakili tradisi keagamaan yang berusaha dipertahankan oleh para ulama sebagai relatif independen. Pertama, untuk mengkarakterisasi pandangan ulama tentang negara Islam hanya berdasarkan pada pengembangan diri — pada gagasan bahwa negara itu Islami selama para ulama sendiri memiliki peran penting di dalamnya. Kedua, ambivalensi ulama modern terhadap negara, secara ironi, melayani mereka dengan cukup baik,karena telah memungkinkan dan bahkan memaksa mereka untuk mengejar, dengan fleksibilitas yang besar, beberapa opsi secara bersamaan.
Para ulama dan organisasi religiopolitik bahwamereka harus menghidupkan kembali identitas agama mereka. Solusi terhadap yang dapat merugikan ulama karena kepercayaan masyarakat adalah mereka harus berkolaborasi dengan pihak lain, non-agama, hanya dengan ketentuan mereka sendiri. Dalam bekerja sama dengan pihak-pihak seperti itu, para ulama harus memastikan bahwa tidak ada aliansi ini yang mendudukkan mereka hanya sebagai "bawahan yang tidak penting" (tabi 'muhmil).

Jumat, 10 Mei 2019

Kebersihan dan Pemuliaan Lingkungan dalam Kajian Hadis Nabi


Latar Belakang Masalah
Islam memberikan perhatian utama terkait dengan kebersihan, dalam kajian ilmu fiqh bab pertama yang dibahas adalah bab thaharah yaitu bersuci. Bersuci tentunya dalam makna kebersihan lahir bathin.[1] Manusia ketika ingin berhadapan dengan sang penciptanya tentu harus dalam keadaan bersih dan suci lahir bathin. Maka oleh karena itu, kebersihan diri sangatlah penting bagi kehidupan manusia. Orang yang senantiasa hidup bersih maka dirinya akan sehat, bahwa kemudian didalam diri yang sehat terdapat jiwa yang kuat. Sehingga Islam sangat menganjurkan sekali untuk menjaga kebersihan pada diri sendiri, keluarga dan lingkungan.
Perhatian Islam tentang kebersihan tersebut tentunya memiliki dasar yakni (1).
Budaya Arab dahulu mendekati dan mengikuti budaya kaum badui, dimana mereka tidak memperhatikan kebersihan diri, keluarga dan lingkungannya. (2). Agama terdahulu yang banyak dianut disemenanjung jazirah Arab dan sekitarnya juga tidak memperhatikan dan menganjurkan tentang kebersihan, bahkan orang-orang Yahudi tidak mempunyai perhatian kepada kebersihan rumah dan sekitarnya. Kedua, agama-agama yang mendominasi jaziraAradan sekitarnytidak mempunyai perhatian terhadap masalah kebersihan, dan tidak pernah menganjurkannya.[2] Berangkat dari dasar inilah kemudian Islam sangat menganjurkan dan menekankan aspek kebersihan pada diri, jasmani, jiwa raga, rumah, lingkungan dan segala bentuk apapun yang berhubungan dengan kehidupan manusia.
Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam, tidak sedikit didalamnya ayat-ayat yang menganjurkan untuk hidup bersih dan menjaga kebersihan. Beberapa ayat yang menjelaskan tentang kebersihan diantaranya terdapat dalam al-Qur’an yaitu pada surat Al-Baqarah: 222, Al-Muddasir :4-5, Al-Maidah : 6 dan pada surat An-Nisaa : 43. Artinya bahwa begitu pentingnya kebersihan sehingga manusia sejak lahir harus dibersihkan dan ketika telah meninggalkan harus dibersihkan apalagi dalam menjalani kehidupan. Orang yang mengerti akan arti penting kebersihan maka ia akan selalu menjaga pola hidup bersih dalam segala aspeknya. Bersih dalam makanannya, pakaiannya, rumahnya, lingkungannya dan lain-lain. Terkait dengan lingkungan bahwa syarat utama lingkungan yang sehat adalah bagaimana melestarikan dan memuliakan lingkungan tersebut agar tetap terjaga kebersihannya.
Kemudian juga tidak sedikit hadits Nabi saw. menjelaskan tentang keutamaan menjaga kebersihan diantaranya terdapat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, Baihaqi, Tirmidzi, Bukhori, dan hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad. Bahwa al-Qur’an dan al-hadits memberi porsi dan perhatian yang detail terkait dengan kebersihan. Bahwa kebersihan merupakan anjuran agama Islam yang berupa perintah yang memiliki titik penekanan yang harus dipatuhi dan diamalkan oleh umat muslim. Maka dalam makalah ini akan membahas tema-tema atau hadits-hadits yang berbicara tentang kebersihan dan pelestarian lingkungan serta bagaimana pandangan pendidikan Islam terhadap kebersihan bagi pendidik dan peserta didik.



[1] Lihat Departemen  Agama,  Tafsir  Al-Quran   Tematik;  Pelestarian Lingkungan Hidup, Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Quran, 2009, h. 244
[2] Yusuf al-Qardlawiy, Sunnah, Ilmu Pengetahuan dan Peradaban, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2001, hal. 427-428

Berpikir dan Berargumentasi


A. Latar Belakang Masalah
Pemikiran setiap orang dipengaruhi oleh apa yang ia dengar, baca, lihat, dan juga pengalaman. Hasil dari analisis semua hal itu memberikan perspektif yang berbeda-beda, tergantung cara pandang serta pendekatan yang digunakan. Terkadang seseorang memiliki daya imajinasi yang kuat sehingga mampu memberikan argumen-argumen kreatif dan konstruktif.
Argumentasi merupakan ungkapan atau ekspresi dari analisa terhadap suatu keadaan, wacana, dan hal-hal yang faktual. Argumentasi yang tidak disandarkan pada pemikiran dan analisa bukanlah argumentasi yang kuat, karena argumentasi baru bisa diterima ketika ia rasional dan memang didasari pada landasan dan juga alasan yang kuat.
Dengan demikian, berargumentasi merupakan suatu hal mendasar yang harus dimiliki oleh seseorang. Dengan adanya argumentasi yang baik maka setiap ide atau pemikiran kita dapat tersampaikan dengan jelas secara lisan maupun tulisan. 
Berargumen bukanlah tindakan spontan, ia harus diolah atas pemikiran dan analisa. Membangun argument kreatif perlu berpikir secara imajinatif. Karena imajinasi disini penting untuk melampaui apa yang ia lihat, dengar, baca, dan juga rasakan.
Imajinasi ini menjadi salah satu landasan bagi seseorang untuk membangun argumen yang kritis dan juga kreatif. Argumentasi yang kreatif pasti terbuka dan inklusif, ia lahir bukan secara spontan sebagai komentar, namun ia lahir sebagai bagian dari pemikiran yang konstruktif. Hal inilah pentingnya berargumen secara kreatif tidak hanya kritis, karena kita butuh dialog yang produktif bukan konfrontatif.
Argumen kritis dan juga kreatif patut untuk selalu dilakukan. Berargumen secara kritis saja tanpa pemikiran dan analisa sama halnya dengan tindakan spontan hingga tidak produktif. Kritis memang penting namun juga perlu kreatif. Berargumen perlu kreatif agar argumentasi yang lahir selalu memberikan kontribusi yang positif.

B. Rumusan Masalah
            Dari permasalahan mengenai berpikir dan beragumentasi ini, maka perumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1.      Apa yang dimaksud dengan berpikir sistemik?
2.      Apa saja yang dimaksud dengan beragumentasi?
3.      Apa saja yang dilakukan dalam beragumentasi?

C. Tujuan Penulisan
            Dari beberapa rumusan permasalahan di atas, adapun tujuan dari penulisan makalah ini diantaranya adalah:
1.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan berpikir
2.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan beragumentasi
Untuk mengetahui bagaimana prosedur, model dan cara menyajikan argumentasi


Untuk lebih lanjut silahkan download

Selasa, 30 April 2019

AL-MANAR DI ANTARA MUSLIM EMPIRE RUSIA (Catatan Penelitian Pendahuluan tentang Riza al-Din b. Fakhr al-Din dan Mura (1908–1918))


A. Identitas Publikasi
1.      JUDUL BUKU             : Intellectuals In The Modern Islamic World
2.      PENULIS                      : Stéphane A. Dudoignon, Komatsu Hisao, dan
  Kosugi Yasushi
3.      PENERBIT                    : Routledge
4.      Tahun Cetak                   : 2006
5.      Tebal Halaman               : 375 Halaman
6.      ISBN                              : 0–415–36835–9 (hbk);  0–203–02831–7 (ebk)
7.      JUDUL ARTIKEL        : Echos to Al-Manar Among The Muslim of
  Russian Empire; A preliminary research note on
  Riza al-Din b. Fakhr al-Din and the Mura (1908–
                                                  1918) by Stéphane A. Dudoignon

B. Ringkasan Isi
Muslim dari Volga Tengah telah diserahkan kepada otoritas Rusia sejak pertengahan abad keenam belas. Mereka kemudian menghadapi kampanye kristenisasi berturut-turut, terutama selama abad kedelapan belas.
Dalam konteks sosial tertentu dari akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, ditandai dengan konfrontasi keseluruhan dari agama Kristen dan Muslim, surat kabar dan jurnal dari bagian tengah dunia Islam mulai didistribusikan secara luas di wilayah-wilayah ini, walaupun tidak teratur dan untuk berbagai derajat dari satu lokasi ke lokasi lain. Di antara majalah-majalah ini, al-Manar menikmati status khusus. Selama periode singkat liberalisasi politik relatif, yang berlangsung dari revolusi 1905 hingga awal perang saudara pada musim dingin 1917, jurnal dari dunia Islam yang jauhlah yang paling sering dikutip, diterjemahkan, dan dikomentari di pers komunitas Muslim Sunni dari Kekaisaran Rusia
Beberapa kalangan intelektual Muslim Rusia Eropa bahkan menganggap al-Manar sebagai model yang harus diikuti. Persepsi ini memunculkan penciptaan salinan Turki atau emulasi itu: jurnal Sura (Dewan), diedit dalam bahasa Tatar ottomanized di selatan kota Uralian di Orenburg oleh  Riza al-Din b. Fakhr al-Din (1859–1936).
Sura menjadi salah satu perusahaan editorial paling signifikan dari seluruh pers Muslim di Rusia, dari penciptaannya pada Januari 1908 hingga penindasannya oleh kaum Bolshevik tepat sepuluh tahun kemudian pada Januari 1918.
Karya-karya al-Afghani, Abduh, dan Rashid Rida sebagian besar dibahas pada tahun 1900-1910 di antara komunitas Muslim Kekaisaran Rusia, terutama melalui terjemahan dari dan mengomentari Manar. Ini terutama terjadi oleh kaum protagonis dari seluruh spektrum reformis, kepada siapa Mura menawarkan platform yang unik selama dekade terakhir periode Kekaisaran. Hubungan ideologis antara berbagai aliran pemikiran sama rumitnya di Rusia atau Asia Tengah seperti halnya di Mesir atau Kekaisaran Ottoman selama periode transisi itu, dan kategori-kategori seperti modernisme dan tradisionalisme ("Jadidisme" dan "Qadimisme" dalam kasus Rusia) seringkali tumpang tindih. Secara signifikan, Manar bahkan lebih sering dikutip, diterjemahkan, dan dikomentari dalam jurnal yang konon konservatif (jika tidak reaksioner) Din wa maimat dari Orenburg, daripada jurnal lain dari pers Muslim Kekaisaran Rusia termasuk Mura. Studi lebih lanjut harus fokus pada berbagai gema untuk al-Manar di komunitas Muslim Rusia, yang bisa memberi cahaya baru pada varietas strategi modernisasi.
Alusi kepada al-Manar dalam pers Muslim di Rusia memang jauh lebih banyak daripada rujukan kepada kaum Muslim Kekaisaran Rusia di al-Manar. Jika kita mempertimbangkan substratum intelektual Muslim Rusia yang kaya pada akhir abad ke-19, kekuatan proses re-Islamisasi, dan keterbukaan dan dinamika pers Muslim pada tahun 1905–1917, hubungan yang tidak simetris antara Mura dan model yang Manar tidak selalu berbicara dalam mendukung yang terakhir
Pengaruh Abduh tampaknya tumbuh bersama kaum intelektual Azharian muda, yang dipolitisasi dengan cepat setelah tahun 1905, sementara pengaruh Manar diperoleh dalam milisi ulama yang diorganisasikan di sekitar madrasah reformis utama dan di sekitar pers masyarakat. Kita hanya bisa membayangkan apa yang akan menjadi evolusi Mura setelah 1917: ini bisa menjadi subjek penelitian lebih lanjut tentang evolusi pribadi Riza al-Din b. Fakhruddin selama dekade-dekade awal periode Soviet.
Para pemimpin spiritual Muslim awal abad ke-20 di Rusia Eropa, modernisasi, dan bahkan transisi dari umma ke negara, tidak harus pergi dengan atau melalui sekularisasi. Bahkan bisa berarti sebaliknya, sebuah modernisasi melalui Islamisasi (atau re-Islamisasi), sejauh hukum dan peraturan Kekaisaran Rusia tidak menawarkan alternatif yang benar-benar memuaskan. Meskipun peran kekuatan kolonial tidak boleh dibesar-besarkan dalam sejarah Islam pada abad ke-19 dan ke-20, kasus Mura dan pemahamannya tentang al-Manar menunjukkan pada kita di mana dan di mana mengukur dominasi yang tahan lama. sebuah negara Kristen dengan kebijakan diskriminasi kepercayaan bisa mengarahkan strategi pengembangan minoritas Islam. Ini harus mendorong para peneliti untuk mencoba menempatkan kembali Mura dalam sejarah sensibilitas, dan untuk berurusan dengan dokumen yang luar biasa ini sebagai sumber untuk persepsi agama, etika, dan hubungan antar-agama dalam konteks negara kolonial, dalam periode ekspansi spektakuler kapitalisme.
Pendekatan seperti itu juga akan memungkinkan pengamat eksternal untuk memahami mengapa para pemimpin gerakan Islam saat ini di seluruh Eropa membaca sekarangawal abad kedua puluh Mura dengan keingintahuan baru. Meskipun ditafsirkan kembali oleh otoritas pasca-Soviet di wilayah Volga-Ural dengan cara sekuler murni, dan dalam kerangka logis dari ideologi lama “persahabatan rakyat,” Riza al-Din b. Karya Fakhr al-Din harus diganti dalam konteks aslinya dari konfrontasi keseluruhan antara Islam dan Kristen. Ini dapat membantu menjelaskan mengapa "Jadidisme" begitu sering disesuaikan oleh para pendukung kontemporer dari sosialisasi politik dan sosial di bekas Uni Soviet.

C. Analisis Artikel
Al-Manar, bagaimanapun, meluas jauh melampaui dunia mayoritas Muslim, hingga ke Turki komunitas Muslim yang berbicara tentang Volga Tengah dan Ural Barat di utara, dan kepulauan Melayu-Indonesia di timur. Stéphane A. Dudoignon melacak peran teolog Tatar-Bashkir yang berpengaruh dari Ural selatan, Riza al-Din b Fakhr al-Din (1859–1936), yang jurnalnya Mura adalah salah satu perusahaan paling signifikan dari pers otonom “Muslim” Rusia, dari yayasannya pada tahun 1908 hingga penindasannya oleh kaum Bolshevik pada awal 1918. Sebagian besar dijadikan model al-Manar, jurnal Riza al-Din dikontekstualisasikan dalam jaringan sekolah madrasah, siswa yang kembali dari studi di al-Azhar, dan beberapa jurnal otonom lainnya dari komunitas Muslim di Kekaisaran Rusia. Semua aktor ini berpartisipasi dalam wacana yang hidup tentang masyarakat, hubungan dengan Ch Rusia negara ristian, dan akses ke modernitas. Alih-alih secara pasif menyerap ajaran reformis Afghan dan 2Abduh dari al-Manar, komunitas Islam di wilayah ini secara aktif mendiskusikan pencarian mereka akan bentuk modernitas asli.

Sabtu, 27 April 2019

Pembentukan dan Perkembangan Tasawuf

Tasawuf dalam dunia Islam baru akhir-akhir ini dipelajari sebagai ilmu, sebelumnya dipelajari sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.  Manusia pada dasarnya adalah suci, maka kegiatan yang dilakukan oleh sebagian manusia untuk mensucikan diri merupakan naluri manusia. Usaha yang mengarah kepada pensucian jiwa terdapat di dalam kehidupan tasawuf.
Ada beberapa alasan tentang lahirnya tasawuf, Pertama, bahwa spritual sufisme membawa ekstrimitas pada spritual “kasyfi” yang cendrung ujungnya berakhir pada wihdatul wujud. Kedua, spritualisme sufisme juga tidak bisa melepaskan diri dari ekstrimitas yang berorientasi pada pemenuhan nafsu egosentris dalam melakukan hubungan dengan Allah. Ketiga, tasawuf cendrung ke tareqat yang melembaga dengan ekstrimitasnya tersendiri.
Dalam tasawuf terdapat tipologi, yaitu akhlaqy yang bermakna membersihkan tingkah laku, amaly yang bermakna menjadikan diri kita bersih lahir-batin, dekat dengan Allah, menjadi sahabat dan kekasih Allah sekaligus dekat dengan umat dan falsafy yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional.
Tarekat berkembang secara pesat di hampir seluruh dunia, termasuk Indonesia. Perkembangan tarekat yang pesat membawa dampak positif bagi perkembangan dakwah. Walaupun sufisme mendasarkan ajarannya pada alquran dan as-sunnah, namun tidak dapat dipungkiri bahwa dalam perkembangannya, esoterisme Islam ini memasukkan unsur-unsur asing dari luar. Keberadaan unsur-unsur asing dalam tasawuf ini membuat para orientalis dalam membahas tentang tasawuf sering mengesankan ketidakaslian sufisme berasal dari Islam.
Tasawuf mulai masuk ke Indonesia bersamaan dengan masuknya Islam ke Indonesia dan tasawuf mengalami banyak perkembangan itu ditandai dengan banyaknya berkembang ajaran tasawuf dan tarikat yang muncul dikalangan masyarakat saat ini yang dibawah oleh para ulama Indonesia yang menuntut ilmu di Mekkah dan Madina kemudian berkembang. Hawash Abdullah menyebutkan Syekh Abdullah Arif yang menyebarkan untuk pertama kali di Aceh sekitar abad ke-12 M.  Dengan beberapa mubalig, diantaranya: Hamzah Al-Fansuri, Al Palembani dan Hamka.

Untuk lebih lanjut silahkan di download disini