Selasa, 09 April 2019

HUBUNGAN ANTARA AKAL, PENGINDERAAN, INTUISI DAN WAHYU DALAM BANGUNAN KEILMUAN ISLAM

A. Pengertian Kata Epistemologi
            Dalam bahasa Yunani, kata epistemologi terdiri dari dua kata, yaitu episteme dan logos. Kata episteme ini diartikan sebagai pengetahuan dan logos bermakna ilmu atau eksplanasi.[1] Dengan demikian, epistemologi adalah ilmu yang membahas tentang apa pengetahuan dan bagaimana memperoleh ilmu pengetahuan. Sehingga, kata epistemologi dapat diartikan sebagai teori pengetahuan dimana dalam bahasa Arab disebut Nazhriyah al-Ma’rifah.[2]Penggunaan istilah kata ini diperkenalkan oleh J. F. Ferrier dalam “institute of metaphysics”.[3]
            Mengenai makna kata dari epistemologi, para ahli berpendapat bahwa epistemologi dapat dimaknai sebagai cabang filsafat yang membahas pengetahuan dan pembenaran. Kajiannya membahas tentang makna pengetahuan, kemungkinan manusia meraih pengetahuan, dan hal-hal yang dapat diketahui.[4]Menurut Runes, epistemologi adalah cabang filsafat yang menelusuri asal (sumber), struktur, metode dan validitas ilmu pengetahuan.[5] Sedangkan, menurut Harun Nasution, epistemologi ialah ilmu yang membahas tentang apa itu pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan.[6]Dari pendapat beberapa ahli mengenai epistemologi, penulis mengambil sebuah kesimpulan yang dikutip dari pendapat Suriasumantri, epistemologi merupakan bagian kajian dari filsafat ilmu yang membahas tentang proses dan prosedur menggali ilmu, metode untuk meraih ilmu yang benar, makna dan kriteria kebenaran, serta sarana yang digunakan untuk mendapatkan ilmu.[7]



B. Sarana Meraih Ilmu dan Sumber Ilmu
Kata ilmu secara bahasa berasal dari perkataan ‘allamah asal kata bahasa Arab ‘ain-lam-mim, yang berarti tanda atau penunjuk. Kata ‘ilm juga bentuk definitif dari kata ‘alima, ya’lamu, ‘ilman yang berarti pengetahuan.
Ada pemahaman yang sama antara science dalam epistemologi barat dengan ilmu dalam epistemologi Islam. Secara bahasa kata science diambil dari bahasa latin, yaitu mengetahui. Sainsdapat diterjemahkan sebagai sebuah pengetahuan yang sitematis, berawal dari hasil observasi,berbagai macam percobaan yang dilakukan untuk mengkaji prinsip dari apa yang dikaji. Oleh karena itu, makna sains telah terjadi peralihan pengertian, yaitu dari sebatas pengetahuan, menjadi pengetahuan yang sistematis berdasarkan observasi inderawi.[8]Namun, sains hanya terbatas pada lingkup sains pada dunia fisik saja, sedangkan ilmu tidak hanya terbatas pada bidang fisik, tetapi kepada metafisika (ma’rifah),karena keduanya bukanlah jenis ilmu yang sama. Adapun yang dimaksud ma’rifah adalah jenis ilmu yang dicapai melalui pengalaman hati yang dibimbing oleh wahyu dalam mencapai kepuasan (al-nafs al-mutma’inah).[9]
Islam mengajarkan bahwa semua sumber segala sesuatu berasal dari Allah swt., yang meliputi bumi dan langit, hal ini sesuai dengan firman Allah swt dalam surah Thaahaa (20) ayat 98.

Refleksi dalam alquran surah al-Baqarah (2) ayat 30 dan 31 menjelaskan bahwa Allah menciptakan manusia sebagai khalifahdi bumi ini mempunyai berbagai potensi yang membuatnya dapat memperoleh ilmu. Adapun potensi tersebut adalah jiwa, pendengaran, penglihatan, akal dan hati, sebagaimana tertuang dalam firman Allah surah an-Nahl (18) ayat 78 dan dalam surah al-Mulk (67) ayat 23.

            Pada kandungan kedua ayat ini, dengan penciptaan manusia sebagai khalifah di bumi, manusia dapat merealisasikan keseluruhan potensi yang diberikan agar menjadikan manusia lebih bersyukur kepada Allah swt. dengan pemberian anugerah ini, maka tauhid merupakan prinsip dasar ilmu pengetahuan, yaitu prinsip yang menggariskan kebenaran yang datangnya dari Allah swt.[10]

1.      Alquran sebagai sumber ilmu pertama
Sebagai sumber ilmu yang diberikan kepada nabi Muhammad saw.,alquran merupakan petunjuk bagi manusia dan alam semesta, sebagaimana dalam surah at-Takwir (81) ayat 27 dan surah al Baqarah (2) ayat 185:


Sebagai petunjuk dari Allah swt. tentu tidak ada penyimpangan yang terdapat didalamnya. Isi kandungannya meliputi segala sesuatu yang dibutuhkan di dunia dan di akhirat, adanya perintah dan larangan, sejarah umat terdahulu, berita baik dan burukserta berbagai disiplin ilmu yang lainnya. Sebagai sumber ilmu yang terdapat dalam alquran, para ulama (penemu) secara continue menganlisis kandungan yang terdapat didalamnya, sehingga khazanah keilmuan terus berkembang sampai sekarang, seperti perkembangan pengetahuan tentang kedokteran, tehnologi dan lain sebagainya sebagai bentuk dari usaha manusia memikirkan dalam mencari ilmu pengetahuan.Dengan demikian, alquran menempati sumber utama untuk mengambil sikap kehidupan.

2.      Pengetahuan yang bersumber dari Al-Hadis/ Al-Sunnah
Secara garis besar al-sunnah dapat diartikan sebagai keteladanan Muhammad saw. sebagai seorang utusan yang didalamnya terdapat perbuatan dan perkataan  dalam menjalankan ajaran Islam yang harus diikuti oleh setiap muslim. Al-hadis dapat dipahami sebagai al-bayan yang fungsinya sebagai penjelasan terhadap ayat-ayat yang belum diketahui oleh manusia, sebagaimana tertuang dalam alquran surah al-Baqarah (2) ayat 151

                Al-hadis juga mempunyai peranan yang sangat penting didalam memahami syariat Islam serta berfungsi merinci petunjuk dan isyarat alquran yang bersifat global, sebagai pengecualian terhadap isyarat alquran yang bersifat umum, sebagai pembatas terhadap ayat alquran yang bersifat mutlak dan sebagai pemberi informasi terhadap sesuatu yang tidak ada di dalam alquran, maka pemahaman alquran dan juga pemahaman ajaran islam yang seutuhnya tidak dapat dilakukan tanpa mengikut sertakan Nabi Muhammad saw.[11]

3.      Hubungan antara Wahyu dan Akal
Di dalam perjalanan manusia, Allah swt. memberikan kepada wahyu kepada manusia sebagai petunjuk dan pedoman agar manusia tetap pada jalan yang diridhai-Nya dan kebenarannya tidak diragukan, sebagaimana firman Allah swt. dalam surah al-Maidah(5) ayat 44, Al-Maidah (5) ayat 48, dan surah al-Israa (17) ayat 105.

Wahyu merupakan sumber ilmu yang primer berasal dari Allah swt. yang diterima para nabi. Ada dua pengertian dasar mengenai wahyu, yaitu tersembunyi dan cepat. Secara etimologi wahyu meliputi: (1) ilham sebagai bawaan dasar manusia, (2) ilham berupa naluri pada binatang, (3) isyarat yang cepat, (4) bisikan, (5) apa yang disampaikan Allah kepada malaikatnya berupa perintah untuk dikerjakan.[12] Sedangkan wahyu dalam pengertian istilah adalah Kalam Allah yang diturunkan kepada nabi. Oleh karena itu, sumber ilmu dalam epistemologi islam ditekankan kepada Kalam Allah, berupa alquran dan kepada nabi sebagai penerima wahyu, dalam hal ini merujuk kepada hadis yang bersumber dari perkataan, perbuatan dan ketetapan yang berhubungan dengan hukum atau ketentuan-ketentuan Allah swt. yang disyariatkan kepada manusia.[13] Namun demikian, selain alquran dan hadis sebagai sumber ilmu, ada juga akal, hati serta indera yang terdapat dalam diri manusia.[14]
            Akal yang diberikan kepada manusia mendapatkan kedudukan tinggi dibandingkan otak binatang, karena akal dalam pandangan islam mempunyai pengertian daya berpikir yang terdapat dalam jiwa manusia.[15]
            Akal pada Kamus Besar Bahasa Indonesia mengandung banyak arti, diantaranya (1) daya pikir, (2) daya upaya, (3) tipu daya dan (4) kemampuan melihat cara-cara memahami lingkungan.[16] Ada beberapa pemaknaan yang sama mengenai makna kata akal dalam alquran, yaitu nazhara (melihat secara abstrak), tadabbara (merenung), tafakkara (berpikir), tazakkara (mengingat, memeroleh pengertian, mendapatkan pelajaran, memerhatikan dan mempelajari) dan fahima (memahami). [17]
            Dari segi persfektif Islam, alquran menjelaskan dalam surah an-Nahl (16) ayat 78 tentang Ilmu yang diraih oleh manusia melalui akal agar manusia lebih bersyukur. Pada ayat yang lain, bahwa manusia diminta pertanggungjawaban ketika tidak menggunakan akalnya, surah al-Israa (17) ayat 36.

            Di dalam Alquran, Allah swt. memberikan apresiasi bagi umat yang berakal, diantaranya adalah ‘ulu al-‘ilm yang terdapat dalam surah Ali Imran (3) ayat 18, ‘ulul Albab (Q.S al-Baqarah (2) ayat 265), ‘ulul Abshar(Q.S. Ali Imran (3) ayat 13) dan lain-lain.[18]
Dengan demikian, akal juga dapat dikatakan sebagai salah satu sumber pengetahuan. Oleh karena itu, akal mendapatkan peranan yang cukup penting dalam kehidupan yang berasal dari diri manusia, sebagaimana alquran menjelaskan dalam surah an-Nahl (16) ayat 44 tentang pentingnya akal dalam kehidupan manusia. Para filosof Islam, imam al-Ghazali memberikan pandangan, bahwa ada empat pengertian tentang akal:
  1. Sebutan yang memisahkan antara manusia dan hewan
  2. Ilmu yang lahir pada saat anak-anak mencapai akil baligh, sehingga bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk
  3. Ilmu yang didapat melalui pengalaman
  4. Kekuatan menghentikan dorongan naluriah untuk menerawang jauh ke angksa, mengekang dan menundukan syahwat yang selalu mengelu-elukan kenikmatan sementara. [19]

Ada beberapa faktor yang menyebabkan penyimpangan akal, diantaranya adalah: (1) hawa nafsu dan beragam keinginan, (2) terlalu cinta dan benci terhadap sesuatu serta mempunyai prasangka yang berlebihan, (3) sifat sombong, (4) mengikuti tanpa mengetahui alasan/ dalilnya, dan (5) terburu-buru dalam memutuskan.[20]
Adapun yang menjadikan perbedannya adalah rasul memperoleh pengetahuan melalui wahyu, sedangkan filosof menggunakan daya fikir. Akal mempunyai fungsi memperbaiki kesalahan dan menyempurnakan indera manusia didalam proses pencarian ilmu. Dalam perkembangannya, akal juga mempunyai kemampuan untuk berpikir secara kritis serta kemampuan untuk menggali esensi yang dipahaminya.
Dari keselurahan penjelasan di atas, bahwa akal mempunyai jangkauan yang terbatas dari hasil pemikiran yang kebenarannya hanya bersifat sementara, sedangkan wahyu merupakan kebenaran yang berasal dari Allah yang jangkauannya tidak terbatas.

4.      Pengetahuan melalui Panca Indera
            Salah potensi yang dimiliki manusia adalah panca indera, karena ketika manusia dilahirkan, potensi tersebut diharapkan bisa menjadikan hamba yang bersyukur karena meraih banyak ilmu pengetahuan yang dimiliki. Di dalam Alquran kalimat pendengaran disebutkan sebanyak 12 kali dan pengelihatan disebutkan sebanyak 18 kali, hal inilah yang menjadikan manusia belajar mengenal alam material. [21]
            Di dalam alquran, manusia diserukan untuk menggunakan indera dan akal sekaligus dalam pengamalan manusia, baik yang bersifat fisik maupun metafisik, karena indera dan akal saling menyempurnakan, walaupun masih ada yang mengabaikannya. Orang yang mengabaikan ini digolongkan kepada kesesatan dan jauh dari kebenaran. Sebagaimana dalam disebutkan dalam surah al-‘Araaf (7) ayat 179 dan  dalam surah al-Baqarah (2) ayat 7.

            Indera mempunyai peranan yang sangat penting, sehingga aliran empiris berpendapat bahwa indera sebagai sumber awal untuk mengetahui alam sekitar. Sedangkan menurut aliran rasionalis, bahwa indera merupakan sumber berpikir dan sumber gambaran sederhana yang terdapat fitrah dalam mental yang membangkitkan tingkat gambaran.[22]
            Adapun beberapa pendapat mengenai fungsi peranan indera sebagai sumber pengetahuan, yaitu:
a.       Indera bersama, indera ini mempunyai kemampuandalam menerima semua informasi dari panca indera luar, lalu meneruskan kepadaindera batin
b.      Indera penggambar, mempunyai fungsi menyimpan informasi yang diterima oleh indera bersama dari hasil cerapan panca indera
c.       Indera pereka, indera ini berada dibagian tengah otak dan memiliki kemampuan untuk mengatur gambar yang telah dilepaskan dari materi oleh indera dengan cara membagi susunannya (klasifikasi) dan menghubungkan satu dengan yang lainnya.
d.      Indera penganggap, memiliki kemapuan untuk menangkap makna yang abstrak dan apa yang dimaksud dalam gambaran-gambaran.
e.       Indera pengingat, indera ini berada dibagian belakang otak dan memiliki kemampuan untuk mengingat segala yang sudah tersimpan dan diketahui oleh indera penganggap.[23]

5.      Hati (kalbu) sebagai sarana meraih ilmu
Penggunaan kata qalb atau af’idah sering kali disebut dalam alquran. Makna lain dari kata hati yang terdapat didalam alquran adalah kata bashirah (nurani)diartikan sebagai hati yang selalu merujuk kepada sesuatu yang berkaitan dengan emosi (perasaan) manusia dan memiliki makna khusus dari nafs sebagai penggerak naluri atau biologis yaitu hanya terbatas pada bagian yang disadari.[24] Hal ini Allah swt. menerangkan dalam surah al-Hajj (22) ayat 46.

            Hati berfungsi sebagai alat untuk memahami realitas dan nilai serta memutuskan suatu tindakan, sehinggal qalb menjadi identik dengan akal. Dalam hal ini disebutkan beberapa potensi manusia tentang hati, yaitu merasa kecewa, sengaja memutuskan sesuatu, berprasangka, menolak sesuatu, mengingkari, dapat diuji, dapat ditundukkan, dapat diperluas dan dipersempit bahkan bisa ditutup dengan rapat.[25]
            Imam al-Ghazali berpendapat bahwa hati mempunyai dua makna, yaitu daging yang berada didalam dada sebelah kiri dan sesuatu yang halus dan bersifat ketuhanan serta memiliki kaitan dengan ruh. Dengan demikian, akal dan hati memiliki kaitan yang saling berhubungan, jika akal adalah sifat ilmu dan terletak dalam hati sedangkan hati berkaitan dengan ruh tempat dari mana manusia dapat mengerti dan mengetahui.[26]
Al-Ghazali juga berpendapat bahwa yang menyebabkan hati tidak dapat meraih ilmu, yaitu kekurangan hati (yakni nurani), hawa nafsu yang selalu berbuat maksiat, berpaling dari kebenaran, taklid kepada prasangka, tidak mengetahui arah kebenaran.[27]
Secara umum, Ibnu Sina mengatakan ketika akal hanya kepada tataran kesadaran, sedangkan hati mampu menembus kepada alam ghaib, sehingga mampu mengerti tentang pengalaman non inderawi yang termasuk didalamnya dunia mistik atau relegius.[28]
Dengan demikian, bahwa jika ingin mendapatkan ilmu pengetahuan hati kita harus senatiasa bersih dan selalu beribadah serta memohon lindungan Allah dari hawa nafsu yang membuat manusia terjerumus kepada kesesatan. Oleh karena itu, dengan memperbanyak ibadah kepada Allah membuat hati kita menjadi suci, sehingga Allah swt. memberikan kepada manusia berbagai nikmat ilmu pengetahuan.

C. Hubungan antara Akal, Indera, Intuisi dan Wahyu
Setelah penjelasan dari ayat-ayat dan keterangan mengenai akal, indera, wahyu dan hati, maka hal ini dapat dijadikan sebagai rujukan dan landasan serta bentuk eksistensi dalam epistemologi Islam. Hal ini dapat terncantum dalam sumber-sumber yang relevan.
Ilmu yang didapatkan oleh manusia dengan cara-cara menggunakan rasio dan yang berdasarkan kepada pengalaman, sehingga menjadi pengetahuan yang dapat terus dikembangakan sesuai dengan masalah-masalah yang berkembang pada saat ini 
Menurut paham positivisme menyakini bahwa kebenaran sebuah ilmu itu dapat diukur dan dapat diuji kebenarannya. Sedangkan masih terdapat langkah lain dalam mendapatkan ilmu, yaitu dengan wahyu dan intuisi. Intuisi adalah pengetahuan yang didapatkan tanpa proses penalaran, sedangkan wahyu adalah pengetahuan yang diberikan Allah kepada manusia utusan-Nya.[29]
Pengetahuan didalam agama bukan saja mengenai‘cerita lama’ yang tertulis tentang sejarah kehidupan manusia, tetapi juga mengandung masalah-masalah yang sampai sekarang belum dapat dibuktikan secara ilmiah. Pengetahuan ini masih terus dikaji sehingga ilmu yang didapatkan menjadi berkembang dan senantiasa menjadikan jawaban-jawaban pertanyaan manusia agar selalu percaya kebenaran Allah swt. yang membuat manusia selalu tunduk dan beribadah kepada-Nya.
Jika diambil sebuah kejelasan dalam tradisi islam ada empat pendekatan, yaitu bayani, tajribi, burhani dan irfani. Metode ini semuanya menguhubungkan dari teks, sumber dan karakteristiknya dalam membangun keilmuan yang islami.
1. Metode Bayani
            Metode ini sering diterapkan para ahli tafsir (mufassir) dalam menelaah ini pengetahuan dari alquran dan hadis. Dalam metode ini, ulama tafsir menjelaskan bagaimana proses dan prosedur ilmiah dalam mengkaji alquran dimulai dari syarat mufassir, jenis tafsir sampai dengan metode tafsir.
            Oleh karena itu, pandangan para ulama terhadap wahyu memunculkan berbagai macam pengetahuan dalam sepanjang sejarah Islam, walaupun banyak metode yang terkuak dalam metode ini, tetapi alquran tidak akan pernah habis untuk terus dibahas dalam pengetahuan Islam.
Dengan berbagai macam pencarian ilmu melalui tafsir, metode ini dapat mengungkap maksud yang terkandung didalam alquran dan hadis, sehingga penggunaannya berhasil memunculkan berbagai macam karya akademik dalam disiplin ilmu agama, penerapan ini merupakan jawaban yang logis bahwa alquran dan hadis merupakan sumber pokok ajaran Islam, dan wahyu Allah sebagai sumber Ilmu dalam Islam.[30]
2. Metode Tajribi
            Metode ini dikenal juga sebagai metode observasi dan eksperimen yang merupakan metode ilmiah terbaik karena mengandalkan pengamatan indrawi dalam menelaah realitas material.
            Dalam filsafat barat modern, metode ini merupakan pondasi utama dalam pengetahuan manusia dan pembenran terhadap anggapan. Artinya, aliran ini menilai bahwa pengalaman sebagai satu-satunya sumber pengetahuan dan informasi tentang dunia empirik.[31]
            Pengembangan metode ini yang digunakan dalam rangka mengembangkan ilmu alam dan ilmu sosial, dengan melalui metode ini dapat dijelaskan melalui tahapan, yaitu perumusan masalah, penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis, perumusan hipotesis, pengujian hipotesis dan penarikan kesimpulan. Perumusan ini dikenal sebagai scientific method yang dikembangkan oleh ilmuan barat.[32]
3. Metode Burhani
Metode ini dikenal dengan sebagai bahasan logika (mantiq), karena banyak sekali didalam alquran yang membicarakan pengetahuan melalui rasionalitas. Perintah menggunakan akal menjadi indikasi yang jelas didalam pencarian ilmu, meskipun ada ayat lain yang juga menjelaskan peranan hati nurani (intuisi) dalam mencari kebenaran ilmu.
            Dengan demikian, dengan menemukan kebenaran dan kebijaksaaan merupakan manfaat dari ilmu logika yang mempunyai fungsi sebagai tuntunan akal kepada arah yang benar serta sebagai alat bantu didalam memeriksa pengetahuan yang tidak luput dari kesalahan.
1.      Metode Irfani
Di dalam metode ini, kaum sufi mengandalkan aktivitas tazkiyah al-nafs untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah swt., dan ilmu hakiki hanya diraih dengan cara taqarub kepada sang pencipta. Dengan demikian, metode ini dikembangkan dari isyarat wahyu, metode para nabi dan rasul dan memberikan kenikmatan di dunia dan di akhirat.
Adapun ilmu yang didapatkan oleh kaum sufi adalah sesuatu yang diisyaratkan kepada ilmu yang diperoleh seorang hamba melalui ilham. Mereka memiliki pandangan bahwa segala sesuatu itu dapat diperoleh dan dicapai hanya dengan penyaksian, intuisi hati dan penyucian jiwa, bukan melalui daya nalar akal dan rasio.





SIMPULAN

Manusia diciptakan oleh Allah swt., sebagai khalifah di bumi ini mempunyai tugas untuk terus menggali dan mencari ilmu pengetahuan yang bersumber dari alquran dan hadis. Dengan kemapuan manusia dalam menggunakan akal, indera dan intuisi diharapkan untuk terus mengkaji serta menelaah sumber ilmu pengetahuan yang belum terpecahkan.
Kajian epistemologi merupakan cabang dari filsafat ilmu yang membahas tentang proses dan prosedur menggali ilmu, metode untuk meraih ilmu yang benar, makna dan kriteria kebenaran, serta sarana yang digunakan untuk mendapatkan ilmu.
Dengan merealisasikan keseluruhan potensi yang diberikan menjadikan manusia lebih bersyukur kepada Allah swt., maka tauhid merupakan prinsip dasar ilmu pengetahuan, yaitu prinsip yang menggariskan kebenaran yang datangnya dari Allah swt.
Adapun kemampuan manusia didalam menganlisis ayat-ayat melalui metode burhani, tajribi, bayani dan irfani membuat ilmu pengetahuan terus berkembang sampai dengan sekarang. Ilmu pengetahuan ini masih terus dikaji sehingga apa yang didapatkan menjadi berkembang dan senantiasa menjadikan jawaban-jawaban terhadap pertanyaan manusia. Ilmu pengetahuan ini menjadikan manusia untuk selalu percaya kebenaran yang datangnya dari Allah swt. serta membuat manusia untuk selalu tunduk dan beribadah kepada-Nya.

           
DAFTAR PUSTAKA

al-Baqi’, Muhammad Fu’ad ‘Abd, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadz Al-Quran
Al-Karim, Indonesia: Maktabah Dahlan, t.th
Al-Ghazali, Ihya Ulumul ad-Diin, Kairo: Maktabah al-Amira al-Syafafiyyah, 1909
Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Diin, New Delhi: Islamic book Service, 2006
Al Rasyidin, Falsafah Pendidikan Islam; Membangun Kerangka Ontologi,
            Epistemologi, dan Aksiologi Praktik Pendidikan, Bandung: Ciptapustaka, 2012
Al Rasyidin dan Ja’far, Filsafat Ilmu dalam Tradisi Islam, Medan : Perdana Publishing,
 2015
Al-Sadr, Muhammad al-Baqir, Falsafatuna, Baghdad: Maktabah al-Wathaniyyah, 1977
al-Qattan, Manna Khalil, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa, 
2001
Amnah, Metodologi dan Pendekatan dalam Pengkajian Islam, Bandung: Citapustaka
 Media, 2013
Audi, Robert, The Cambridge Dictionary of Philoshopy, Cambridge: Cambridge
 University Press, 1999
Bagus, Loren, Kamus Populer Filsafat, Jakarta: Gramedia, 1996
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
 Balai Pustaka, 1990
Ghulsyani, Mahdi, Filsafat Sains Menurut Alquran, Bandung: Mizan, 1991
Hartoko, Dick, Kamus Populer Filsafat, Jakarta: Rajawali, 1986
Hatta, Muhammad, Hubungan antara Akal, Penginderaan, Intuisi, Wahyu dalam
 Keilmuan Islam, Jurnal al-Itqan, Vol. VI, 2015
Ibnu Sina, Ahwal An-Nafs, ditahkik oleh Ahmad Fu’ad al-Ahwani, Mesir: Isal al-Babi
 al-Halabi wal Syirkuh, 1952
Runes, Dagobart D., Dictionary of Philosophy, New Jersey: Adams & Company, 1971
Kania, Dinar Dewi, Filsafat Ilmu, Jakarta: Gema Insani, 2013
Kertanegara, Mulyadhi, Menyibak Tabir Kejahilan, Pengantar Epistemologi Islam,
            Bandung: Mizan, 2003
Ladyman, James, Understanding Philosopy of Science, New York: London: Routledge,
 2002
Mubarak, Achmad, Jiwa dalam Alquran, Jakarta: Paramadina, 2000
Nasution, Harun, Islam ditinjau dari berbagai aspek, Jakarta: UI Press, 1978
Nasution, Harun, Filsafat Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1973
Suparta, Munzier, Ilmu Hadits, Jakarta: Rajawali Press, 2011
Suriasumantri, Jujun, Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Sinar
 Harapan, 1982
Suriamantri, Jujun, Ilmu dalam Persfektif, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991



[1]Robert Audi, The Cambridge Dictionary of Philoshopy (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), h. 273 dan Al Rasyidin dan Ja’far, Filsafat Ilmu dalam Tradisi Islam (Medan : Perdana Publishing, 2015), h. 79
[2] Amnah, Metodologi dan Pendekatan dalam Pengkajian Islam (Bandung: Citapustaka Media, 2013), h. 40
[3] Dagobart D. Runes, Dictionary of Philosophy (New Jersey: Adams & Company, 1971), h. 33
[4]James Ladyman,Understanding Philosopy of Science (New York: London: Routledge, 2002), h. 5; Al Rasyidin, Filsafat Ilmu dalam Tradisi Islam, ibid, h. 79
[5] Loren Bagus, Kamus Populer Filsafat (Jakarta: Gramedia, 1996), h. 212; Dick Hartoko, Kamus Populer Filsafat (Jakarta: Rajawali, 1986), h. 22 dan Al Rasyidin dan Ja’far, Filsafat Ilmu dalam Tradisi Islam, ibid, h. 79
[6]Harun Nasution, Filsafat Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 30
[7]Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Sinar Harapan, 1982), h. 33 dan Al Rasyidin dan Ja’far, Filsafat Ilmu dalam Tradisi Islam, ibid, h. 79
[8]Mulyadhi Kertanegara, Menyibak Tabir Kejahilan, Pengantar Epistemologi Islam, (Bandung: Mizan, 2003), h. 1-2
[9]Dinar Dewi Kania, Filsafat Ilmu (Jakarta: Gema Insani, 2013), h. 90
[10]Al Rasyidin, Falsafah Pendidikan Islam; Membangun Kerangka Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Praktik Pendidikan (Bandung: Ciptapustaka, 2012), h. 32
[11]Amnah, Metodologi dan Pendekatan dalam Pengkajian Islam,ibid, h.47
[12]Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an (Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa, 2001), h.37-38
[13]Munzier Suparta, Ilmu Hadits (Jakarta: Rajawali Press, 2011), h. 4
[14]Dinar Dewi Kania, Filsafat Ilmu, Ibid, h. 92-93
[15]Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspek (Jakarta: UI Press,1978), h. 9
[16]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 14
[17]Achmad Mubarak, Jiwa dalam Alquran (Jakarta: Paramadina, 2000), h. 120 dan Al Rasyidin dan Ja’far, Filsafat Ilmu dalam Tradisi Islam, Ibid, h. 86
[18]Achmad Mubarak, Jiwa dalam Alquran, Ibid, h. 119-120 dan Al Rasyidin dan Ja’far, Filsafat Ilmu dalam Tradisi Islam, Ibid, h. 87
[19]Al-Ghazali, Ihya Ulumul ad-Diin (Kairo: Maktabah al-Amira al-Syafafiyyah, 1909), h.98
[20] Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains Menurut Alquran (Bandung: Mizan, 1991), h. 110-114
[21] Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi’, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadz Al-Quran Al-Karim (Indonesia: Maktabah Dahlan, t.th), h. 34, 154-155, 456-457, 629
[22] Muhammad al-Baqir Al-Sadr, Falsafatuna (Baghdad: Maktabah al-Wathaniyyah, 1977), h. 88
[23] Ibnu Sina, Ahwal An-Nafs, ditahkik oleh Ahmad Fu’ad al-Ahwani (Mesir: Isal al-Babi al-Halabi wal Syirkuh, 1952), h.96
[24]Dinar Dewi Kania, Filsafat Ilmu, Ibid, h. 104
[25]Achmad Mubarak, Jiwa dalam Alquran , ibid, h. 111-118 dan Al Rasyidin dan Ja’far, Filsafat Ilmu dalam Tradisi Islam, Ibid, h. 89-90
[26]Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Diin, (New Delhi: Islamic book Service, 2006), h. 7-9
[27]Ibid, h. 15-16, 25-26
[28]Muhammad Hatta, Hubungan antara Akal, Penginderaan, Intuisi, Wahyu dalam Keilmuan Islam (Jurnal al-Itqan, Vol. VI, 2015), h. 149
[29]Jujun Sumantri, Ilmu dalam Persfektif (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991), h. 56 dan 59
[30]Al Rasyidin dan Ja’far, Filsafat Ilmu dalam Tradisi Islam, Ibid, h. 93 - 99
[31]Ibid, h. 102-103
[32]Suriasumantri, Filsafat ilmu, ibid, h. 119-140

0 komentar:

Posting Komentar