Minggu, 14 April 2019

Sayyed Hossein Nasr : Islamic Philosophy From its Origin to The Present



A.    Book Description
Nama Pengarang             : Sayyed Hossein Nasr
Judul Buku                      : Islamic Philosophy From its Origin to The Present
Tempat Terbit                  : New York - USA
Penerbit                           : State University of New York Press
Tahun Terbit                    : 2006
          Jumlah Halaman             : 395 Halaman
          ISBN                              : 0-7914-6799-6




B. Interpretation
Buku yang berjudul Filsafat Islam dari Asalnya Sampai Sekarang menawarkan tinjauan komprehensif filsafat Islam dari abad kesembilan hingga saat ini. Sebagaimana dibuktikan oleh Sayyid Hossein Nasr, dalam tradisi ini, berfilsafat dilakukan di dunia di mana ramalan adalah realitas pusat kehidupan — realitas yang tidak hanya berkaitan dengan bidang tindakan dan etika tetapi juga bidang pengetahuan. Perbandingan dengan filsafat Yahudi dan Kristen menyoroti hubungan antara akal dan wahyu, yaitu, filsafat dan agama.
Nasr menghadirkan filsafat Islam dalam kaitannya dengan tradisi Islam secara keseluruhan, tetapi selalu memperlakukan filsafat ini sebagai filsafat, tidak hanya sebagai sejarah intelektual. Selain bab-bab yang membahas perkembangan sejarah umum filsafat Islam, beberapa bab juga dikhususkan untuk para filsuf yang belakangan dan kebanyakan tidak dikenal. Karya ini juga memberi perhatian khusus pada tradisi Persia.
Nasr menekankan bahwa tradisi Islam adalah tradisi yang hidup dengan signifikansi bagi dunia Islam kontemporer dan hubungannya dengan Barat. Dalam memberikan pengantar ini pada sebuah tradisi yang sedikit dipahami di Barat, Nasr juga menunjukkan kepada pembaca bahwa filsafat Islam memiliki banyak hal untuk ditawarkan kepada dunia kontemporer secara keseluruhan.
Nasr jauh melampaui diskusi tentang filsafat 'Arab', menegaskan bahwa Islam adalah sebuah mosaik multikultural, dan mosaik poliglot yang bersatu dalam kesetiaannya kepada Allah yang Esa yang menyatakan diri-Nya melalui Nubuat.”
Adapun artikel yang dikritik ini berjudul pertanyaan-pertanyaan Epistemologis: hubungan antara akal, nalar, dan intuisi di dalam perspektif intelektual yang beragam.

C. RINGKASAN ARTIKEL
Perspektif bahasa Arab dan bahasa Islami lainnya, istilah al-'aqlu, digunakan untuk menunjukkan alasan dan intelek, tetapi perbedaan antara keduanya serta keterkaitannya sangat tergantung pada keuatan para intelektual dalam menggunakan akalnya. Al-'aqlu dalam bahasa Arab pada dasarnya berarti mengikat. Maksudnya adalah kemampuan manusia yang mengikat pada kebenaran yaitu kebenaran kepada asalnya  yaitu kepada Tuhan. Al-'aqlu dalam bahasa arab disebut dengan akal dalam bahasa Indonesia dapat bermakna kecerdasan, ketajaman persepsi, pandangan ke depan, akal sehat dan banyak konsep lain dari tatanan yang terkait biasanya menggunakan kata al-‘aqlu. Sejauh menyangkut alasan, yang merupakan refleksi intelek pada bidang pikiran manusia, istilah lain juga digunakan seperti kata istidlal. Meskipun demikian, bahwa masing-masing kajian dalam pemikiran Islam telah menguraikan secara sangat rinci bahwa aspek-aspek makna intelek yang berkaitan dengan perspektif dan struktur batinnya.
Kemudian istilah-istilah akal, nalar dan intuisi mengacu pada perbedaan antara pengetahuan intuitif berdasarkan pengalaman langsung dan kehadiran di satu sisi dan rasiosinasi sebagai pengetahuan tidak langsung berdasarkan konsep mental di sisi lain. Bagaimanapun juga, tidak semua istilah ini, seperti yang digunakan dalam bahasa Islam tradisional, bertentangan dengan al-'aqlu. Sebaliknya tradisi intelektual Islam biasanya tidak melihat dikotomi antara intelek dan intuisi tetapi keduanya telah menciptakan hierarki pengetahuan dan metode untuk memperoleh pengetahuan yang sesuai dengan derajat inteleksi dan intuisi sehingga hubungannya menjadi harmonis dalam suatu urutan yang mencakup semua sarana yang tersedia untuk diketahui oleh manusia. Begitu pula dengan pengetahuan indria, akal atau inteleksi dan penglihatan batin atau pengetahuan tentang hati atau intuisi. Jika muncul dari para pemikir yang membatasi pengetahuan pada apa yang bisa dicapai oleh akal (istidlal) dan siapa telah menyangkal baik wahyu maupun intuisi sebagai sumber pengetahuan, itu merupakan hal yang biasa terjadi pada dinamika pemikiran karena alasan tersebut tetap ada di dalam tradisi intelektual Islam yang integral.
Untuk memahami sepenuhnya hubungan antara akal, nalar, dan intuisi dalam Islam, adalah perlu untuk beralih ke perspektif-perspektif intelektual Islam yang telah membawa ke aktualisasi berbagai kemungkinan intelektual, spiritual dan formal yang melekat dalam wahyu Islam. Termasuk sejauh menyangkut tentang pembahasan ilmu-ilmu agama murni seperti studi Al-Quran dan syari’at, teologi dalam berbagai aliran filsafat, dan akhirnya menjadi sufi. Pengetahuan yang diidentifikasikan dengan hati ini adalah pengetahuan dasar yang diperoleh melalui instrumen yang diidentifikasikan dengan hati atau pusat keberadaan manusia dalam alam pikiran, yang hanya mengetahui secara tidak langsung dan ia merupakan proyeksi dari hati. Jantung tidak hanya diidentifikasikan dengan sentimen yang dikontraskan dalam filsafat modern dengan nalar. Manusia tidak hanya memiliki kemampuan akal dan sentimen atau emosi yang kontras dengannya. Sebaliknya, ia mampu memiliki dualisme pengetahuan intelektual yang melampaui dan dikotomi antara akal dan emosi, atau pikiran dan hati sebagaimana biasanya dipahami. Ini adalah hilangnya gnosis atau pengetahuan intelektual yang benar-benar dalam cara yang operatif dan disadari dalam dunia modern yang telah menyebabkan gerhana konsepsi tradisional dari "pengetahuan tentang hati," pengetahuan yang sekaligus intelektual dan intuitif dalam arti yang paling dalam dari istilah-istilah ini dan karena itu dapat diidentifikasikan dengan intuisi intelektual.
Pengetahuan yang diidentifikasikan dengan hati. Pengetahuan tentang hati memiliki keutamaan dan keterusterangan pengetahuan sensual tetapi menyangkut dunia yang cerdas atau spiritual. Ketika seseorang mendapatkan pengetahuan tentang parfum mawar melalui pengalaman langsung dari fasilitas penciuman, dia tidak mendapatkan pengetahuan tentang konsep parfum mawar tetapi pengetahuan langsung tentangnya. Bagi kebanyakan orang, pengetahuan semacam ini terbatas pada dunia yang sensual, tetapi bagi orang gnostik yang mata hatinya dibuka melalui latihan spiritual, ada kemungkinan dari pengetahuan yang memiliki langsung pengalaman sensual tetapi mengaitkan dengan realitas abadi. Dari sudut pandang pengetahuan presensi ini merupakan bentuk pengetahuan tertinggi, di mana pada akhirnya subjek dan objek pengetahuan adalah sama, yang paling konkrit dari semua realitas adalah prinsip tertinggi.

D. KEKHASAN DAN KEMUTAKHIRAN
Kekhasan dari kajian artikel ini adalah pembahasan antara hubungan akal, nalar dan intuisi dalam berbagai perspektif yang sangat komprehensif sehingga memberikan pemahaman yang holistik dengan beberapa pendekatan. Pendekatan dalam al-qur’an, persepektif Islam dan pandangan-pandangan lainnya mengungkap tentang kebenaran akal yang dikaitkan dengan kekuatan nalar dan intuisi dari para intelek menambah kekhasan analisis dari artikel ini. Sedangkan kemutakhiran dari artikel ini adalah mengkombinasikan peran akal, nalar dan intuisi dalam sebuah kajian dalam berbagai persepktif kemudian membedakan peran masing-masing dapat dipahami dengan baik oleh para pembaca.

E. KELEBIHAN DAN KELEMAHAN
Kelebihan dari artikel ini adalah dalam perspektif Islam, seseorang dapat berbicara tentang hierarki pengetahuan mulai dari yang sensual, melalui imajiner dan rasional, hingga kepada tingkat intelektual yang termasuk intuitif yang teridentifikasi dengan hati. Tetapi sama seperti kemampuan pengetahuan rasional tidak bertentangan dengan yang sensual, intelektual dan intuitif tidak bertentangan dengan rasional. Sebaliknya, pikiran adalah refleksi dari hati yang merupakan pusat mikrokosmos. Dalam persepktif ini bahwa peran akal, nalar dan intuisi sesungguhnya adalah berpusat dari hati. Pada aspek inilah kemudian yang menjadi kelebihan dari pembahasan pada artikel ini. Sedangkan kelemahan dari artikel ini adalah di mana intelek telah menjadi identik dengan nalar dan intuisi dengan indera keenam dari struktur biologis manusia yang peduli dengan meramalkan peristiwa masa depan dan biasanya ditolak sebagai cara yang sah untuk memperoleh pengetahuan oleh mereka yang mengabdi pada penggunaan akal. Oleh karena itu menjadi sulit untuk memahami apa intelek, nalar, dan intuisi, indria-indria utama yang menjadi landasan pengetahuan, dapat berarti dalam konteks pemikiran Islam

F. REKOMENDASI
Di dalam buku ini Sayyed Hossein Nasr banyak mengeksplorasi pendekatan yang bervariasi untuk konsep filosofis Muslim dari hikmah dan falsafah sepanjang sejarah, tetapi setiap saat menekankan hubungan tak terhindarkan dalam pemikiran Islam antara ilmu-ilmu filosofis dan agama Islam.
            Nasr juga menggabungkan sejarah dengan eksposisi metafisik dan kontemplasi yang matang tentang karakter unik dari sebuah filosofi yang dapat berkembang 'di tanah ramalan', itu bukan gambaran yang masuk akal seperti serangkaian perenungan, yang dipenuhi dengan informasi dan ide, menggambar pada beasiswa seumur hidup dan pengalaman.
Nasr juga menetapkan beberapa signifikansi dari apa yang secara mendasar menjadi masalah dalam pemikiran filosofis dan untuk menunjukkan relevansi pemikiran itu dengan situasi manusia secara keseluruhan.
Dengan demikian, setelah membaca dan mentelaah buku ini, maka penulis berpendapat bahwa buku ini dapat direkomendasikan dan layak untuk dikaji lebih lanjut untuk dapat dikembangkan dan dikritisi oleh pendidik dan para filosof, sehingga pengetahuan tentang ilmu filsafat bisa terus berkembang.

G. SIMPULAN
Secara luas, Filsafat Islam telah membahas masalah epistemologi dan sarana yang tersedia bagi manusia untuk memperoleh pengetahuan yang otentik. Para filsuf Islam secara konsekuen harus berurusan dengan hubungan antara apa yang dapat diakses secara manusiawi dalam domain pengetahuan dan apa yang telah diungkapkan melalui kenabian. Mereka juga harus berurusan dengan masalah bagaimana manusia mampu mendapatkan akses ke pengetahuan yang terungkap dan menjadi tahu mengenai Tuhan dan pesan-pesan-Nya serta utusan-Nya.
Istilah akal, nalar dan intuisi mengacu pada perbedaan antara pengetahuan intuitif berdasarkan pengalaman langsung dan kehadiran di satu sisi dan rasiosinasi sebagai pengetahuan tidak langsung berdasarkan konsep mental di sisi lain.
Epistemologi yang diuraikan oleh Hossein Nasr adalah yang meliputi pertanyaan-pertanyaan apa yang dapat saya ketahui? Dalam tradisi Barat modern, trend epistemologi hanya mengurai entitas yang dapat dicerap oleh indera saja, selain itu sering dikategorikan sebagai kajian tidak ilmiah.
Dari sinilah lahir reduksionisme dalam bidang epistemologi. Nasr, dengan epistemologi sains Islam ingin mengurai secara lebih mendalam tentang hakikat pengetahuan. Realitas nyata yang dapat diketahui, bukan saja entitas fisik yang bermuatan inderawi, melainkan seluruh entitas yang ada, mulai yang fisik, rasional sampai kepada intuitif. Selain itu juga ada ranah yang harus diimani dan tidak dapat ditembus oleh instrumen apapun kecuali oleh keimanan. Adapun Instrumen pencapaian sains adalah dengan melalui indera, akal, hati/qalbu, dan intuisi intelektual. 

0 komentar:

Posting Komentar