A. Identitas Publikasi
1.
JUDUL BUKU :
Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan Elite Muslim dalam
Sejaran
Indonesia
2.
PENULIS :
Jajat Burhanudin
3.
PENERBIT :
Mizan Media Utama
4.
Tahun Cetak :
Cetakan Pertama, 2012
5.
Tebal Halaman :
481 Halaman
6.
ISBN :
978-979-433-691-5
7.
JUDUL ARTIKEL :
Kolonialisme dan Pembentukan Elite Muslim Baru
B. Ringkasan Isi
Pada awal
bab ini, dijelaskan bahwa komponen penting dalam pembentukan otoritas ulama pada
peningkatan pemahaman Islam dan pencapaian kekuatan spiritual adalah
mengintegrasikan Islam di Hindia Belanda ke dalam arus perkembangan Islam di
Timur Tengah, pengalaman ulama Jawi yang belajar di Mekkah dan Sufisme.
Kecendrungan intelektual yang dimulai pada
abad ke-17 dan 18 semakin menguat pada abad ke-19 pada orientasi syariat,
aktivisme tumbuh dan mewarnai diskursus masa itu. Dengan aktivisme ini, islam
berorientasi-syariat mengambil bentuk gerakan protes melawan stabilitas politik
yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial di Hindia Belanda dan Mekkah dianggap sebagai
sumber inspirasi bagi aktivisme anti-kolonial. Gerakan wahabi yang menjadi
wadah intelektual dan politik islam di Makkah yang mengilhami munculnya gerakan
reformis Islam pra-modern. Gerakan ini bercirikan menerapkan syariah secara
tegas bahkan radikal karena terpengaruh ide-ide keagamaan Ibnu Taimiyyah yang
menyerukan untuk kembali kepada Islam yang benar yang didasarkan ajaran Islam
(alQuran dan Sunnah).
Dari
pemahaman ini, terjadi perlawanan Belanda disebabkan bukan saja terhadap
kolonialisme tetapi juga perlawanan terhadap ideologi yang dilakukan Belanda,
seperti gerakan Padri di Sumatera Barat (1807-1832), Perang Jawa (1825-1830),
Pemberontakan Banten (1888), Perang Aceh (1873 – sekitar 1910). Dari beberapa
contoh ini menggambarkan pentingnya peran ulama dalam ranah politik dalam
aktivisme anti-kolonial, serta menjadi bukti sejarah yang menunjukkan peranan
penting jaringan Timur Tengah terhadap kontribusi ideologi gerakan
pemberontakan dan peranan penting ulama bersama pesantren dalam upaya pembaruan
yang berorientasi-syariat.
Neo-sufisme menjadi salah satu
elemen utama dari diskursus Islam beriorientasi syariat, mendorong umat muslim
untuk lebih aktif terlibat dalam persoalan sosial-politik, sekaligus mengkritik
aliran sufisme yang mendorong umat muslim untuk berjarak dengan urusan duniawi
(‘uzla). Di bawah kekuasaan kolonial, semangat aktivisme ini berubah menjadi
sebuah kekuatan sosial-politik yang memberi umat muslim ideologi-berbasis Islam
untuk memberontak melawan kekuasaan kolonial.
Ketika mendapatkan perlawanan yang begitu
besar oleh kalangan ulama, pemerintah Belanda mencari jalan baru untuk
melancarkan sebuah visi bagi perubahan masyarakat Hindia di masa depan dengan
cara memberikan spirit liberalisme yang berarkar di Eropa abad ke-19. Gagasan
ini dilakukan oleh Snouck Hurgronje yang mengarahkan perhatiannya kepada elit
lokal yang diyakini akan dapat membawa masyarakat menuju situasi dimana mereka
dan Belanda dapat hidup berdampingan. Adapun salah satu cara yang dilakukannya
adalah dengan menjalankan visi ke Mekkah dengan tujuan untuk memahami jemaah
haji Hindia yang senantiasa dicurigai sebagai kelompok yang bertanggungjawab
dalam menyebarkan ideologi anti-Belanda. Selian itu juga, Snouck memfokuskan kepada
pemuka adat, khusunya penghulu yang menyebabkan fragmentasi Islam di Belanda.
Hal yang serupa juga dilakukan oleh K.F.
Holle, menurutnya bahwa yang bertanggungjawab dalam menyebarkan paham fanatisme
Islam di Hindia adalah para haji yang berangkat ke Mekkah, sehingga ia berusaha
menarik para elite Priangan (kaum Menak) agar menjauh dari Islam dan semua
bentuk unsur Islam-Arab. Adapun salah satu cara yang dilakukannya adalah dengan
mengganti tulisan Arab dengan tulisan Latin dan tidak mentoleransi pengaruh
para haji dan ulama. Bahkan pengetahuan kolonial mengindetifikasikan penghulu
dan ulama sebagai dua domain politik dan kultural yang berbeda dan terpisah,
sehingga Holle berupaya untuk menjauhkan para penghulu dari pengaruh Islam dan
Arab.
Dalam sejarah dijelaskan bahwa
para penghulu juga melakukan perjalanan intelektual yang sama dengan para
ulama, berdasarkan catatan biografis sejumlah penghulu dipercaya tentang bacaan luas para penghulu terhadap
kitab-kitab terkenal. Hal inilah yang menunjukkaan bahwa pengangkatan mereka
untuk jabatan tersebut tidak menghalangi untuk menjadi ulama.
Hasil studi
kesarjanaan Belanda pada studi Filologis menemukan apa yang disebut dengan
kebudayaan asli dan otentik di Hindia Belanda. Dengan semua hal yang mereka
lakukan kepada muslim Hindia, bukan tidak mungkin bahwa para sarjana Belanda
cenderung meletakkan teks-teks Islam di bawah keunggulan naskah asli Jawa
dikarenakan didorong sentimen anti-Islam. Maka, makin jelaslah bahwa pemerintah
Belanda telah mengarahkan para penghulu dan aristokrat pribumi untuk mengikuti
jalan yang telah mereka ciptakan, akibatnya penghulu semakin terlibat dalam
aktivitas keagamaan dan budaya yang telah ditentukan oleh Belanda. Hal ini
membawa mereka untuk makin berjarak dengan para ulama pesantren yang mengalami
konsolidasi sedemikian kuat dengan budaya dan pandangan dunia mereka. Dengan
semakin tampilnya ulama sebagai elit sosial membuat proyek kolonial terhadap
Islam tampak tidak mencari tujuan yang diharapkan.
C. ANALISIS ARTIKEL
Dalam artikel
ini diceritakan bahwa upaya yang dilakukan oleh Belanda kepada para ulama Islam
bukan saja dilakukan melalui perang fisik, tapi juga perang ideologi. Bab ini membahas
sejarah perjuangan para ulama melawan kolonialisme. Dalam bahasan ini juga menceritakan
tentang bagaimana strategi para sarjana Belanda (Snouck dan Holle) untuk mempelajari
visi yang dilakukan agar masyarakat Hindia mengikuti kolonialisme dengan cara
memberikan spirit liberalisme sebagai tolak ukur yang diyakini akan dapat
membawa masyarakat menuju situasi dimana pribumi dan Belanda dapat hidup
berdampingan.
Perlawanan yang dilakukan oleh
ulama adalah karena tidak selarasnya pendidikan dan pengatahuan mereka terhadap
Islam. Oleh karena itu, Neo-sufisme menjadi salah satu elemen utama dari
diskursus Islam beriorientasi syariat, mendorong umat muslim untuk lebih aktif
terlibat dalam persoalan sosial-politik. Semangat aktivisme ini berubah menjadi
sebuah kekuatan sosial-politik yang memberi umat muslim ideologi-berbasis Islam
untuk memberontak melawan kekuasaan kolonial.
Buku ini
sangat bagus untuk menjawab polemik sejarah tentang kolonial Belanda yang
akhirnya membangkitkan para cendikia muslim untuk membentuk elite muslim baru.
Permasalahan yang berkembang lahir sebagai jawaban agar kaum elit muslim
bangkit dari ‘tidur’ karena terbawa arus kolonialisme yang dapat memecah
ideologi.
0 komentar:
Posting Komentar