A. Pengantar Filsafat Ilmu
Filsafat
merupakan sebuah disiplin ilmu yang terkait dengan perihal kebijaksanaan.
Kebijaksanaan merupakan titik ideal dalam kehidupan manusia, karena ia dapat
menjadikan manusia bersikap dan bertindak atas dasar pertimbangan kemanusiaan
yang tinggi (actus humanus), bukan asal bertindak sebagaimana yang biasa
dilakukan manusia (actus homini). Beberapa langkah menuju ke arah kebijaksaan
itu antara lain:
1. Membiasakan diri untuk bersikap kritis
terhadap kepercayaan dan sikap yang selama ini sangat kita junjung tinggi
2. Berusaha untuk memadukan hasil
bermacam-macam sains dan pengalaman kemanusiaan, sehingga menjadi pandangan
yang konsisten tentang alam semesta beserta isinya.
3. Mempelajari dan mencermati jalan
pemikiran ara filosuf dan meletakkannya sebagai ‘pisau analisis’ untuk
memecahkan masalah kehidupan yang berkembang dalam kehidupan konkret, sejauh
pemikiran itu memang relevan dengan situasi dan kondisi yang kita hadapi.
4. Menelusuri butir-butir hikmah yang
terkandung dalam ajaran agama, sebab agama merupakan sumber kebijaksanaan hidup
manusia, tidak hanya untuk kepentingan duniawi, bahkan juga akhirat.[1]
Secara Etimologis, kata falasfah atau filsafat dalam bahasa
Indonesia yang merupakan kata serapan dari bahasa Arab. Arti Filsafat berasal
dari beberapa bahasa, yaitu bahasa Inggris dan Yunani (Philia =
persahabatan, cinta, dan lain sebagainya) dan (sophia =
“kebijaksanaan”). Sehingga arti harafiahnya adalah seorang “pencinta
kebijaksanaan”.[2]
Ada beberapa definisi filsafat yang telah diklasifikasikan
berdasarkan watak dan fungsinya sebagai berikut:
1. Filsafat adalah sekumpulan sikap dan
kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara tidak
kritis (arti informal).
2. Filsafat adalah suatu proses kritik atau
pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang sangat kita junjung tinggi (arti
formal).
3. Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan
gambaran keseluruhan, artinya filsafat berusaha untuk mengombinasikan hasil
bermacam-macam sains dan pengalaman kemanusian sehingga menjadi pandangan yang
konsisten tentang alam (arti spekulatif).
4. Filsafat adalah analisis logis dari
bahasa serta penjelasan tentang arti kata dan konsep.
5. Filsafat adalah sekumpulan problema yang
langsung, yang mendapat perhatian dari manusia dan yang dicarikan jawabannya
oleh ahli-ahli filsafat.[3]
Dilihat dari arti praktisnya, filsafat adalah alam berpikir
atau alam pikiran. Berfilsafat adalah berpikir. Langeveld, dalam bukunya
“Pengantar pada Pemikiran Filsafat” (1959) menyatakan, bahwa filsafat adalah
suatu perbincangan mengenai segala hal, sarwa sekalian alam secara sistematis
sampai ke akar-akarnya. Apabila dirumuskan kembali, filsafat adalah suatu
wacana, atau perbincangan mengenai segala hal secara sistematis sampai
konsekuensi terakhir dengan tujuan menemukan hakikatnya.
Beberapa konsep terkait dalam definisi itu. Adapun
penjelasannya sebagai berikut:
1. Wacana. Menandakan bahwa filsafat
memiliki cirri kegiatan berupa pembicaraan yang mengandalkan pada pemikiran,
rasio, tanpa verifikasi uji empiris.
2. Segala Hal. Bahwa apa yang dibicarakan
merupakan materi filsafat adalah segala hal menyangkut keseluruhan, sehingga
disebut perbincangan universal.
3. Sistematis. Perbincangan segala sesuatu
dilakukan secara teratur menurut system yang berlaku, sehingga
tahapan-tahapannya mudah diikuti.
4. Radikal. Hal ini merupakan ciri khas
berpikir filsafat. Bahwa asumsi tersebut tidak hanya dibicarakan, tetapi
digunakan.
5. Hakikat. Pemahaman atau hal yang menjadi
paling mendasar. Jadi, filsafat tidak berbicara pada wujud atau suatu materi,
tetapi berbicara makna yang ada dibelakangnya.[4]
B. Ciri-ciri Berpikir Kefilsafatan
Adapun ciri berpikir kefilsafatan
dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Radikal; berpikir sampai pada hakikat
atau subtansi yang dipikirkan.
2. Universal; menyangkut pengalaman umum
manusia.
3. Konseptual; merupakan hasil generalisasi
dan abstraksi pengalaman manusia.
4. Koheren dan Konsisten; sesuai dengan
kaidah-kaidah berpikir logis dan tidak mengandung kontradiksi.
5. Sistematik; harus saling berhubungan
secara teratur dan terkandung adanya maksud atau tujuan tertentu.
6. Komprehensif; usaha untuk menjelaskan
alam semesta secara keseluruhan.
7. Bebas; hasil pemikiran yang bebas dari
prasangka-prasangka sosial, historis, kultural bahkan relegius.
8. Bertanggungjawab terhadap hasil
pemikirannya.[5]
C. Cabang-cabang Utama Filsafat
Asas-asas filsafat merupakan suatu
kajian yang mengetengahkan prinsip-prinsip pokok bidang filsafat. Dalam hal ini
dikaji beberapa bidang utama filsafat, seperti: metafisika, epistemologi dan
etika. Ketiga bidang ini dapat dipandang sebagai pilar utama.
a. Metafisika
Archie J. Bahm mengatakan bahwa metafisika
merupakan suatu penyelidikan pada masalah perihal keberadaan.[6]
Beberapa peran metafisika dalam ilmu
pengetahuan, yaitu: Pertama,
metafisika mengajarkan cara berpikir yang cermat dan tidak kenal lelah dalam
pengembangan ilmu pengentahuan. Kedua,
metafisika menuntut orisinalitas berpikir yang sangat diperlukan bagi ilmu
pengetahuan. Ketiga, metafisika
memberikan bahan pertimbangan yang matang bagi pengembangan ilmu pengetahuan,
terutama pada wilayah pra anggapan, sehingga persoalan yang diajukan memiliki
landasan berpijak yang kuat.
b. Epistomologi
Epistomologi secara etismologis berarti
teori pengetahuan. Persoalan penting yang dikaji dalam epistomologis berkisar
pada masalah: asal-usul pengetahuan, peran pengalaman dan akal dalam
pengentahuan, hubungan antara pengetahuan dengan keniscayaan, hubungan
pengetahuan dengan kebenaran, kemungkinan skepisisme universal, dan
bentuk-bentuk perubahan pengetahuan yang berasal dari konseptualisasi baru
mengenai dunia.[7]
c. Aksiologi
Aksiologi artinya teori nilai, penyelidikan
mengenai kodrat, kriteria, dan status metafisik dari nilai. Problem utama aksiologi ujar Runes berkaitan
dengan empat faktor penting sebagai berikut:
Pertama, Apakah nilai itu berasal dari
keinginan, kesenangan, preferensi, kepentingan, preferensi, keinginan rasio
murni dan lain-lain
Kedua, jenis-jenis nilai menyangkut
perbedaan pandangan antara nilai intrinsik, ukuran untuk kebijaksanaan nilai
itu sendiri, nilai-nilai instrumental yang menjadi penyebab mengenai nilai-nilai intrinsik.
Ketiga, kriteria nilai artinya ukuran
untuk menguji nilai yang dipengaruhi sekaligus oleh teori psikologi dan logika.[8]
D. Fungsi Filsafat
Ilmu
Filsafat
ilmu merupakan salah satu cabang dari filsafat. Oleh karena itu, fungsi
filsafat ilmu kiranya tidak bisa dilepaskan dari fungsi filsafat secara
keseluruhan, yakni :
1. Sebagai alat mencari kebenaran dari segala fenomena yang
ada.
2. Mempertahankan, menunjang dan melawan atau berdiri netral
terhadap pandangan filsafat lainnya.
3. Memberikan pengertian tentang cara hidup, pandangan hidup
dan pandangan dunia.
4. Memberikan ajaran tentang moral dan etika yang berguna
dalam kehidupan.
5. Menjadi sumber inspirasi dan pedoman untuk kehidupan
dalam berbagai aspek kehidupan itu sendiri, seperti ekonomi, politik, hukum dan
sebagainya.[9]
Sedangkan
Ismaun (2001) mengemukakan fungsi filsafat ilmu adalah untuk memberikan
landasan filosofik dalam memahami berbagi konsep dan teori sesuatu disiplin
ilmu dan membekali kemampuan untuk membangun teori ilmiah. Selanjutnya
dikatakan pula, bahwa filsafat ilmu tumbuh dalam dua fungsi, yaitu: sebagai
confirmatory theories yaitu berupaya mendekripsikan relasi normatif antara
hipotesis dengan evidensi dan theory of
explanation, yakni
berupaya menjelaskan berbagai fenomena kecil ataupun besar secara sederhana.[10]
E. Substansi
Filsafat Ilmu
Telaah
tentang substansi Filsafat Ilmu, Ismaun (2001) memaparkannya dalam empat
bagian, yaitu substansi yang berkenaan dengan: (1) fakta atau kenyataan, (2)
kebenaran (truth), (3) konfirmasi dan (4) logika inferensi.
1. Fakta atau
kenyataan
Fakta atau kenyataan
memiliki pengertian yang beragam, bergantung dari sudut pandang filosofis yang
melandasinya.
a) Positivistik berpandangan bahwa sesuatu yang nyata bila
ada korespondensi antara yang sensual satu dengan sensual lainnya.
b) Fenomenologik memiliki dua arah perkembangan mengenai
pengertian kenyataan ini. Pertama, menjurus ke arah teori korespondensi yaitu
adanya korespondensi antara ide dengan fenomena. Kedua, menjurus ke arah
koherensi moralitas, kesesuaian antara fenomena dengan sistem nilai.
c) Rasionalistik menganggap suatu sebagai nyata, bila ada
koherensi antara empirik dengan skema rasional, dan
d) Realisme-metafisik berpendapat bahwa sesuatu yang nyata
bila ada koherensi antara empiri dengan obyektif.
e) Pragmatisme memiliki pandangan bahwa yang ada itu yang
berfungsi.
Di sisi
lain, Lorens Bagus (1996) memberikan penjelasan tentang fakta obyektif dan
fakta ilmiah. Fakta obyektif yaitu peristiwa, fenomen atau bagian realitas yang
merupakan obyek kegiatan atau pengetahuan praktis manusia. Sedangkan fakta
ilmiah merupakan refleksi terhadap fakta obyektif dalam kesadaran manusia. Yang
dimaksud refleksi adalah deskripsi fakta obyektif dalam bahasa tertentu. Fakta
ilmiah merupakan dasar bagi bangunan teoritis. Tanpa fakta-fakta ini bangunan
teoritis itu mustahil. Fakta ilmiah tidak terpisahkan dari bahasa yang
diungkapkan dalam istilah-istilah dan kumpulan fakta ilmiah membentuk suatu
deskripsi ilmiah.
2. Kebenaran (truth)
Sesungguhnya, terdapat
berbagai teori tentang rumusan kebenaran. Namun secara tradisional, kita
mengenal 3 teori kebenaran yaitu koherensi, korespondensi dan pragmatik (Jujun
S. Suriasumantri, 1982). Sementara, Michel William mengenalkan 5 teori
kebenaran dalam ilmu, yaitu : kebenaran koherensi, kebenaran korespondensi,
kebenaran performatif, kebenaran pragmatik dan kebenaran proposisi. Bahkan,
Noeng Muhadjir menambahkannya satu teori lagi yaitu kebenaran paradigmatik.
(Ismaun; 2001)
a. Kebenaran koherensi
Kebenaran
koherensi yaitu adanya kesesuaian atau keharmonisan antara sesuatu yang lain
dengan sesuatu yang memiliki hirarki yang lebih tinggi dari sesuatu unsur
tersebut, baik berupa skema, sistem, atau pun nilai. Koherensi ini bisa pada
tatanan sensual rasional mau pun pada dataran transendental.
b. Kebenaran
korespondensi
Berfikir
benar korespondensial adalah berfikir tentang terbuktinya sesuatu itu relevan
dengan sesuatu lain. Koresponsdensi relevan dibuktikan adanya kejadian sejalan
atau berlawanan arah antara fakta dengan fakta yang diharapkan, antara fakta
dengan belief yang diyakini, yang sifatnya spesifik
c. Kebenaran
performatif
Ketika
pemikiran manusia menyatukan segalanya dalam tampilan aktual dan menyatukan
apapun yang ada dibaliknya, baik yang praktis yang teoritik, maupun yang
filosofik, orang mengetengahkan kebenaran tampilan aktual. Sesuatu benar bila
memang dapat diaktualkan dalam tindakan.
d. Kebenaran pragmatik
Yang
benar adalah yang konkret, yang individual dan yang spesifik dan memiliki
kegunaan praktis.
e. Kebenaran proposisi
Proposisi
adalah suatu pernyataan yang berisi banyak konsep kompleks, yang merentang dari
yang subyektif individual sampai yang obyektif. Suatu kebenaran dapat diperoleh
bila proposisi-proposisinya benar. Dalam logika Aristoteles, proposisi benar
adalah bila sesuai dengan persyaratan formal suatu proposisi. Pendapat lain
yaitu dari Euclides, bahwa proposisi benar tidak dilihat dari benar formalnya,
melainkan dilihat dari benar materialnya.
f. Kebenaran
struktural paradigmatik
Sesungguhnya
kebenaran struktural paradigmatik ini merupakan perkembangan dari kebenaran
korespondensi. Sampai sekarang analisis regresi, analisis faktor, dan analisis
statistik lanjut lainnya masih dimaknai pada korespondensi unsur satu dengan
lainnya. Padahal semestinya keseluruhan struktural tata hubungan itu yang
dimaknai, karena akan mampu memberi eksplanasi atau inferensi yang lebih
menyeluruh.
3. Konfirmasi
Fungsi
ilmu adalah menjelaskan, memprediksi proses dan produk yang akan datang, atau
memberikan pemaknaan. Pemaknaan tersebut dapat ditampilkan sebagai konfirmasi
absolut atau probalistik. Menampilkan konfirmasi absolut biasanya menggunakan
asumsi, postulat, atau axioma yang sudah dipastikan benar. Tetapi tidak salah
bila mengeksplisitkan asumsi dan postulatnya. Sedangkan untuk membuat
penjelasan, prediksi atau pemaknaan untuk mengejar kepastian probabilistik
dapat ditempuh secara induktif, deduktif, ataupun reflektif.
4. Logika inferensi
Logika
inferensi yang berpengaruh lama sampai perempat akhir abad XX adalah logika
matematika, yang menguasai positivisme. Positivistik menampilkan kebenaran
korespondensi antara fakta. Fenomenologi Russel menampilkan korespondensi
antara yang dipercaya dengan fakta. Belief pada Russel memang memuat moral,
tapi masih bersifat spesifik, belum ada skema moral yang jelas, tidak general
sehingga inferensi penelitian berupa kesimpulan kasus atau kesimpulan
ideografik.
Post-positivistik
dan rasionalistik menampilkan kebenaran koheren antara rasional, koheren antara
fakta dengan skema rasio, Fenomena Bogdan dan Guba menampilkan kebenaran
koherensi antara fakta dengan skema moral. Realisme metafisik Popper
menampilkan kebenaran struktural paradigmatik rasional universal dan Noeng
Muhadjir mengenalkan realisme metafisik dengan menampilkan kebenaranan struktural
paradigmatik moral transensden.[11]
Di lain pihak, Jujun
Suriasumantri (1982:46-49) menjelaskan bahwa penarikan kesimpulan baru dianggap
sahih kalau penarikan kesimpulan tersebut dilakukan menurut cara tertentu,
yakni berdasarkan logika. Secara garis besarnya, logika terbagi ke dalam 2
bagian, yaitu logika induksi dan logika deduksi.[12]
[1] Rizal
Mustansyir dan Misnal Munir, (2009). Filsafat
Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 1-2
[3] Titus,
Smith dan Nolan, (1984). Persoalan-persoalan
Filsafat. Alih bahasa: H. M. Rasjidi. Jakarta: Bulan Bintang. Hal. 11-15
[4] Sutardjo
A. Wiramihardja, (2007). Pengantar
Filsafat. Bandung: PT. Refika Aditama. Hal. 10
[5] Ali
Mudhofi, (1997). Pengenalan Filsafat,
dalam Filsafat Ilmu. Klaten: Intan Pariwara. Hal. 17-18
[6] Bahm,
Archie, J. (1986), Metaphysics: An
Introduction. Albuquerque: Harper and Row Publisher. Hal. 6
[7] Blackburn,
Simon. (1994). The Oxford Dictionary of
Philosophy. The Oxford University Press. Hal. 123
[8] Rizal
Mustansyir dan Misnal Munir, (2009). Filsafat
Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 9 -28
[9] Agraha
Suhandi. (1992), Filsafat Sebagai Seni
untuk Bertanya, (Diktat Kuliah). Bandung : Fakultas Sastra Unpad Bandung.
Lihat : http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/13/filsafat-ilmu/
[10] Ismaun.
(2001). Filsafat Ilmu, (Diktat Kuliah).
Bandung : UPI Bandung. Lihat : http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/13/filsafat-ilmu/
[11] Ismaun.
(2001). Filsafat Ilmu, (Diktat Kuliah).
Bandung : UPI Bandung. Hal. 9. Lihat :
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/13/filsafat-ilmu/
[12]
Jujun S. Suriasumantri. (1982). Filsafah
Ilmu : Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Sinar Harapan. Hal. 46-49
0 komentar:
Posting Komentar