Dalam bahasa Yunani, kata
epistemologi terdiri dari dua kata, yaitu episteme
dan logos. Kata episteme ini diartikan sebagai pengetahuan dan logos bermakna ilmu atau eksplanasi.[1] Dengan demikian,
epistemologi adalah ilmu yang membahas tentang apa pengetahuan dan bagaimana
memperoleh ilmu pengetahuan. Sehingga, kata epistemologi dapat diartikan
sebagai teori pengetahuan dimana dalam bahasa Arab disebut Nazhriyah al-Ma’rifah.[2]Penggunaan
istilah kata ini
diperkenalkan oleh J. F. Ferrier
dalam “institute of metaphysics”.[3]
Mengenai makna kata dari epistemologi,
para ahli berpendapat bahwa epistemologi dapat dimaknai sebagai cabang filsafat
yang membahas pengetahuan dan pembenaran. Kajiannya membahas tentang makna
pengetahuan, kemungkinan manusia meraih pengetahuan, dan hal-hal yang dapat
diketahui.[4]Menurut Runes,
epistemologi adalah cabang filsafat yang menelusuri asal (sumber), struktur,
metode dan validitas ilmu pengetahuan.[5] Sedangkan,
menurut Harun Nasution, epistemologi ialah ilmu yang membahas tentang apa itu
pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan.[6]Dari pendapat beberapa
ahli mengenai epistemologi, penulis mengambil sebuah kesimpulan yang dikutip
dari pendapat Suriasumantri, epistemologi merupakan bagian kajian dari filsafat
ilmu yang membahas tentang proses dan prosedur menggali ilmu, metode untuk
meraih ilmu yang benar, makna dan kriteria kebenaran, serta sarana yang
digunakan untuk mendapatkan ilmu.[7]
B. Sarana Meraih Ilmu dan Sumber
Ilmu
Kata ilmu secara bahasa berasal dari perkataan ‘allamah asal kata bahasa Arab ‘ain-lam-mim, yang berarti tanda atau
penunjuk. Kata ‘ilm juga bentuk
definitif dari kata ‘alima, ya’lamu,
‘ilman yang berarti pengetahuan.
Ada pemahaman yang sama antara science dalam epistemologi barat dengan ilmu dalam epistemologi
Islam. Secara bahasa kata science
diambil dari bahasa latin, yaitu mengetahui. Sainsdapat diterjemahkan sebagai
sebuah pengetahuan
yang sitematis, berawal dari hasil observasi,berbagai macam percobaan yang
dilakukan untuk mengkaji prinsip dari apa yang dikaji. Oleh karena itu, makna sains
telah terjadi peralihan pengertian, yaitu dari sebatas pengetahuan, menjadi
pengetahuan yang sistematis berdasarkan observasi inderawi.[8]Namun,
sains hanya terbatas pada lingkup sains pada dunia fisik saja, sedangkan ilmu
tidak hanya terbatas pada bidang fisik, tetapi kepada metafisika
(ma’rifah),karena keduanya bukanlah jenis ilmu yang sama. Adapun yang dimaksud ma’rifah adalah jenis ilmu yang dicapai
melalui pengalaman hati yang dibimbing oleh wahyu dalam mencapai kepuasan (al-nafs al-mutma’inah).[9]
Islam mengajarkan bahwa semua sumber
segala sesuatu berasal dari Allah swt., yang meliputi bumi dan langit, hal ini
sesuai dengan firman Allah swt dalam surah Thaahaa (20) ayat 98.
Refleksi dalam alquran surah al-Baqarah
(2) ayat 30 dan 31 menjelaskan bahwa Allah menciptakan manusia sebagai khalifahdi bumi ini mempunyai
berbagai
potensi yang membuatnya dapat memperoleh ilmu. Adapun potensi tersebut adalah
jiwa, pendengaran, penglihatan, akal dan hati, sebagaimana tertuang dalam
firman Allah surah an-Nahl (18) ayat 78 dan dalam surah al-Mulk (67) ayat 23.
Pada
kandungan kedua ayat ini, dengan penciptaan manusia sebagai khalifah di bumi, manusia dapat merealisasikan
keseluruhan potensi yang diberikan agar menjadikan manusia lebih bersyukur
kepada Allah swt. dengan pemberian anugerah ini, maka tauhid merupakan prinsip
dasar ilmu pengetahuan, yaitu prinsip yang menggariskan kebenaran yang
datangnya dari Allah swt.[10]
1.
Alquran sebagai sumber
ilmu pertama
Sebagai sumber ilmu yang diberikan kepada nabi Muhammad saw.,alquran
merupakan petunjuk bagi manusia dan alam semesta, sebagaimana dalam surah at-Takwir
(81) ayat 27 dan surah al Baqarah (2) ayat 185:
Sebagai petunjuk dari Allah swt. tentu tidak ada
penyimpangan yang terdapat didalamnya. Isi kandungannya meliputi segala sesuatu
yang dibutuhkan di dunia dan di akhirat, adanya perintah dan larangan, sejarah
umat terdahulu, berita baik dan burukserta berbagai disiplin ilmu yang lainnya.
Sebagai sumber ilmu yang terdapat dalam alquran, para ulama (penemu) secara continue menganlisis kandungan yang
terdapat didalamnya, sehingga khazanah keilmuan terus berkembang sampai
sekarang, seperti perkembangan pengetahuan tentang kedokteran, tehnologi dan
lain sebagainya sebagai bentuk dari usaha manusia memikirkan dalam mencari ilmu
pengetahuan.Dengan demikian, alquran menempati sumber utama untuk mengambil
sikap kehidupan.
2.
Pengetahuan yang
bersumber dari Al-Hadis/ Al-Sunnah
Secara garis besar al-sunnah
dapat diartikan sebagai keteladanan Muhammad saw. sebagai seorang utusan yang
didalamnya terdapat perbuatan dan perkataan
dalam menjalankan ajaran Islam yang harus diikuti oleh setiap muslim. Al-hadis dapat dipahami sebagai al-bayan yang fungsinya sebagai
penjelasan terhadap ayat-ayat yang belum diketahui oleh manusia, sebagaimana
tertuang dalam alquran surah al-Baqarah (2) ayat 151
Al-hadis juga mempunyai peranan yang sangat penting didalam memahami
syariat Islam serta berfungsi merinci petunjuk dan isyarat alquran yang
bersifat global, sebagai pengecualian terhadap isyarat alquran yang bersifat
umum, sebagai pembatas terhadap ayat alquran yang bersifat mutlak dan sebagai
pemberi informasi terhadap sesuatu yang tidak ada di dalam alquran, maka
pemahaman alquran dan juga pemahaman ajaran islam yang seutuhnya tidak dapat
dilakukan tanpa mengikut sertakan Nabi Muhammad saw.[11]
3.
Hubungan antara Wahyu
dan Akal
Di dalam perjalanan manusia, Allah swt.
memberikan kepada wahyu kepada manusia sebagai petunjuk dan pedoman agar
manusia tetap pada jalan yang diridhai-Nya dan kebenarannya tidak diragukan,
sebagaimana firman Allah swt. dalam surah al-Maidah(5) ayat 44, Al-Maidah (5) ayat 48, dan surah al-Israa (17) ayat 105.
Wahyu merupakan sumber ilmu yang primer
berasal dari Allah swt. yang diterima para nabi. Ada dua pengertian dasar mengenai wahyu, yaitu tersembunyi
dan cepat. Secara etimologi wahyu meliputi: (1) ilham sebagai bawaan dasar
manusia, (2) ilham berupa naluri pada binatang, (3) isyarat yang cepat, (4)
bisikan, (5) apa yang disampaikan Allah kepada malaikatnya berupa perintah
untuk dikerjakan.[12]
Sedangkan wahyu dalam pengertian istilah adalah Kalam Allah yang diturunkan kepada nabi. Oleh karena itu, sumber
ilmu dalam epistemologi islam ditekankan kepada Kalam Allah, berupa alquran dan kepada nabi sebagai penerima wahyu,
dalam hal ini merujuk kepada hadis yang bersumber dari perkataan, perbuatan dan
ketetapan yang berhubungan dengan hukum atau ketentuan-ketentuan Allah swt.
yang disyariatkan kepada manusia.[13]
Namun demikian, selain alquran dan hadis sebagai sumber ilmu, ada juga akal,
hati serta indera yang terdapat dalam diri manusia.[14]
Akal yang
diberikan kepada manusia mendapatkan kedudukan tinggi dibandingkan otak
binatang, karena akal dalam pandangan islam mempunyai pengertian daya berpikir
yang terdapat dalam jiwa manusia.[15]
Akal pada
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengandung banyak arti, diantaranya (1) daya
pikir, (2) daya upaya, (3) tipu daya dan (4) kemampuan melihat cara-cara
memahami lingkungan.[16]
Ada beberapa pemaknaan yang sama mengenai makna kata akal dalam alquran, yaitu nazhara (melihat secara abstrak), tadabbara (merenung), tafakkara (berpikir), tazakkara (mengingat, memeroleh
pengertian, mendapatkan pelajaran, memerhatikan dan mempelajari) dan fahima (memahami). [17]
Dari segi
persfektif Islam, alquran menjelaskan dalam surah an-Nahl (16) ayat 78 tentang Ilmu
yang diraih oleh manusia melalui akal agar manusia lebih bersyukur. Pada ayat yang lain, bahwa manusia
diminta pertanggungjawaban ketika tidak menggunakan akalnya, surah al-Israa (17) ayat 36.
Di dalam
Alquran, Allah swt. memberikan apresiasi bagi umat yang berakal, diantaranya
adalah ‘ulu al-‘ilm yang terdapat
dalam surah Ali Imran (3) ayat 18, ‘ulul
Albab (Q.S al-Baqarah (2) ayat 265), ‘ulul
Abshar(Q.S. Ali Imran (3) ayat 13) dan lain-lain.[18]
Dengan demikian, akal juga dapat
dikatakan sebagai salah satu sumber pengetahuan. Oleh karena itu, akal mendapatkan
peranan yang cukup penting dalam kehidupan yang berasal dari diri manusia,
sebagaimana alquran menjelaskan dalam surah an-Nahl (16) ayat 44 tentang
pentingnya akal dalam kehidupan manusia. Para filosof Islam, imam
al-Ghazali memberikan pandangan, bahwa ada empat pengertian tentang akal:
- Sebutan yang memisahkan antara manusia dan hewan
- Ilmu yang lahir pada saat anak-anak mencapai akil baligh, sehingga bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk
- Ilmu yang didapat melalui pengalaman
- Kekuatan menghentikan dorongan naluriah untuk menerawang jauh ke angksa, mengekang dan menundukan syahwat yang selalu mengelu-elukan kenikmatan sementara. [19]
Ada
beberapa faktor yang menyebabkan penyimpangan akal, diantaranya adalah: (1)
hawa nafsu dan beragam keinginan, (2) terlalu cinta dan benci terhadap sesuatu
serta mempunyai prasangka yang berlebihan, (3) sifat sombong, (4) mengikuti
tanpa mengetahui alasan/ dalilnya, dan (5) terburu-buru dalam memutuskan.[20]
Adapun
yang menjadikan perbedannya adalah rasul memperoleh pengetahuan melalui wahyu, sedangkan filosof
menggunakan daya fikir. Akal mempunyai fungsi memperbaiki kesalahan dan
menyempurnakan indera manusia
didalam proses pencarian ilmu. Dalam
perkembangannya, akal juga mempunyai kemampuan untuk berpikir secara kritis
serta kemampuan untuk menggali esensi yang dipahaminya.
Dari keselurahan penjelasan di atas, bahwa akal
mempunyai jangkauan yang terbatas dari hasil pemikiran yang kebenarannya hanya
bersifat sementara, sedangkan wahyu merupakan kebenaran yang berasal dari Allah
yang jangkauannya tidak terbatas.
4.
Pengetahuan melalui Panca Indera
Salah potensi yang dimiliki manusia
adalah panca indera, karena ketika manusia dilahirkan, potensi tersebut
diharapkan bisa menjadikan hamba yang bersyukur karena meraih banyak ilmu
pengetahuan yang dimiliki. Di dalam Alquran kalimat pendengaran disebutkan
sebanyak 12 kali dan pengelihatan disebutkan sebanyak 18 kali, hal inilah yang
menjadikan manusia belajar mengenal alam material. [21]
Di dalam alquran, manusia diserukan
untuk menggunakan indera dan akal sekaligus dalam pengamalan manusia, baik yang
bersifat fisik maupun metafisik, karena indera dan akal saling menyempurnakan,
walaupun masih ada yang mengabaikannya. Orang yang mengabaikan ini digolongkan
kepada kesesatan dan jauh dari kebenaran. Sebagaimana dalam disebutkan dalam
surah al-‘Araaf (7) ayat 179 dan dalam surah al-Baqarah (2) ayat 7.
Indera mempunyai peranan yang sangat
penting, sehingga aliran empiris berpendapat bahwa indera sebagai sumber awal untuk
mengetahui alam sekitar. Sedangkan menurut aliran rasionalis, bahwa indera
merupakan sumber berpikir dan sumber gambaran sederhana yang terdapat fitrah
dalam mental yang membangkitkan tingkat gambaran.[22]
Adapun beberapa pendapat mengenai
fungsi peranan indera sebagai sumber pengetahuan, yaitu:
a.
Indera bersama, indera
ini mempunyai kemampuandalam menerima semua informasi dari panca indera luar, lalu meneruskan
kepadaindera batin
b.
Indera penggambar,
mempunyai fungsi menyimpan informasi yang diterima oleh indera bersama dari
hasil cerapan panca indera
c.
Indera pereka, indera
ini berada dibagian tengah otak dan memiliki kemampuan untuk mengatur gambar
yang telah dilepaskan dari materi oleh indera dengan cara membagi susunannya
(klasifikasi) dan menghubungkan satu dengan yang lainnya.
d.
Indera penganggap,
memiliki kemapuan untuk menangkap makna yang abstrak dan apa yang dimaksud
dalam gambaran-gambaran.
e.
Indera pengingat, indera
ini berada dibagian belakang otak dan memiliki kemampuan untuk mengingat segala
yang sudah tersimpan dan diketahui oleh indera penganggap.[23]
5.
Hati (kalbu) sebagai sarana meraih ilmu
Penggunaan
kata qalb atau af’idah sering kali disebut dalam alquran. Makna lain dari kata
hati yang terdapat didalam alquran adalah kata bashirah (nurani)diartikan sebagai hati yang selalu merujuk kepada
sesuatu yang berkaitan dengan emosi (perasaan) manusia dan memiliki makna
khusus dari nafs sebagai penggerak
naluri atau biologis yaitu hanya terbatas pada bagian yang disadari.[24]
Hal ini Allah swt. menerangkan dalam surah al-Hajj (22) ayat 46.
Hati berfungsi sebagai alat untuk
memahami realitas dan nilai serta memutuskan suatu tindakan, sehinggal qalb menjadi identik dengan akal. Dalam
hal ini disebutkan beberapa potensi manusia tentang hati, yaitu merasa kecewa,
sengaja memutuskan sesuatu, berprasangka, menolak sesuatu, mengingkari, dapat
diuji, dapat ditundukkan, dapat diperluas dan dipersempit bahkan bisa ditutup
dengan rapat.[25]
Imam al-Ghazali berpendapat bahwa
hati mempunyai dua makna, yaitu daging yang berada didalam dada sebelah kiri
dan sesuatu yang halus dan bersifat ketuhanan serta memiliki kaitan dengan ruh.
Dengan demikian, akal dan hati memiliki kaitan yang saling berhubungan, jika
akal adalah sifat ilmu dan terletak dalam hati sedangkan hati berkaitan dengan
ruh tempat dari mana manusia dapat mengerti dan mengetahui.[26]
Al-Ghazali
juga berpendapat bahwa yang menyebabkan hati tidak dapat meraih ilmu, yaitu
kekurangan hati (yakni nurani), hawa nafsu yang selalu berbuat maksiat,
berpaling dari kebenaran, taklid
kepada prasangka, tidak mengetahui arah kebenaran.[27]
Secara
umum, Ibnu Sina mengatakan ketika akal hanya kepada tataran kesadaran,
sedangkan hati mampu menembus kepada alam ghaib, sehingga mampu mengerti
tentang pengalaman non inderawi yang termasuk didalamnya dunia mistik atau
relegius.[28]
Dengan
demikian, bahwa jika ingin mendapatkan ilmu pengetahuan hati kita harus
senatiasa bersih dan selalu beribadah serta memohon lindungan Allah dari hawa
nafsu yang membuat manusia terjerumus kepada kesesatan. Oleh karena itu, dengan
memperbanyak ibadah kepada Allah membuat hati kita menjadi suci, sehingga Allah
swt. memberikan kepada manusia berbagai nikmat ilmu pengetahuan.
C. Hubungan antara Akal, Indera,
Intuisi dan Wahyu
Setelah
penjelasan dari ayat-ayat dan keterangan mengenai akal, indera, wahyu dan hati,
maka hal ini dapat dijadikan sebagai rujukan dan landasan serta bentuk
eksistensi dalam epistemologi Islam. Hal ini dapat terncantum dalam
sumber-sumber yang relevan.
Ilmu
yang didapatkan oleh manusia dengan cara-cara menggunakan rasio dan yang
berdasarkan kepada pengalaman, sehingga menjadi pengetahuan yang dapat terus
dikembangakan sesuai dengan masalah-masalah yang berkembang pada saat ini
Menurut
paham positivisme menyakini bahwa kebenaran sebuah ilmu itu dapat diukur dan
dapat diuji kebenarannya. Sedangkan masih terdapat langkah lain dalam
mendapatkan ilmu, yaitu dengan wahyu dan intuisi. Intuisi adalah pengetahuan
yang didapatkan tanpa proses penalaran, sedangkan wahyu adalah pengetahuan yang
diberikan Allah kepada manusia utusan-Nya.[29]
Pengetahuan
didalam agama bukan saja mengenai‘cerita
lama’ yang tertulis tentang sejarah kehidupan manusia, tetapi juga
mengandung masalah-masalah yang sampai sekarang belum dapat dibuktikan secara
ilmiah. Pengetahuan ini masih terus dikaji sehingga ilmu yang didapatkan
menjadi berkembang dan senantiasa menjadikan jawaban-jawaban pertanyaan manusia
agar selalu percaya kebenaran Allah swt. yang membuat manusia selalu tunduk dan
beribadah kepada-Nya.
Jika diambil sebuah kejelasan dalam tradisi islam ada
empat pendekatan, yaitu bayani, tajribi, burhani dan irfani. Metode ini
semuanya menguhubungkan dari teks, sumber dan karakteristiknya dalam membangun
keilmuan yang islami.
1. Metode
Bayani
Metode ini sering diterapkan para
ahli tafsir (mufassir) dalam menelaah ini pengetahuan dari alquran dan hadis.
Dalam metode ini, ulama tafsir menjelaskan bagaimana proses dan prosedur ilmiah
dalam mengkaji alquran dimulai dari syarat mufassir, jenis tafsir sampai dengan
metode tafsir.
Oleh karena itu, pandangan para
ulama terhadap wahyu memunculkan berbagai macam pengetahuan dalam sepanjang
sejarah Islam, walaupun banyak metode yang terkuak dalam metode ini, tetapi
alquran tidak akan pernah habis untuk terus dibahas dalam pengetahuan Islam.
Dengan
berbagai macam pencarian ilmu melalui tafsir, metode ini dapat mengungkap
maksud yang terkandung didalam alquran dan hadis, sehingga penggunaannya
berhasil memunculkan berbagai macam karya akademik dalam disiplin ilmu agama,
penerapan ini merupakan jawaban yang logis bahwa alquran dan hadis merupakan
sumber pokok ajaran Islam, dan wahyu Allah sebagai sumber Ilmu dalam Islam.[30]
2. Metode
Tajribi
Metode ini dikenal juga sebagai
metode observasi dan eksperimen yang merupakan metode ilmiah terbaik karena
mengandalkan pengamatan indrawi dalam menelaah realitas material.
Dalam filsafat barat modern, metode
ini merupakan pondasi utama dalam pengetahuan manusia dan pembenran terhadap
anggapan. Artinya, aliran ini menilai bahwa pengalaman sebagai satu-satunya
sumber pengetahuan dan informasi tentang dunia empirik.[31]
Pengembangan metode ini yang
digunakan dalam rangka mengembangkan ilmu alam dan ilmu sosial, dengan melalui
metode ini dapat dijelaskan melalui tahapan, yaitu perumusan masalah,
penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis, perumusan hipotesis,
pengujian hipotesis dan penarikan kesimpulan. Perumusan ini dikenal sebagai scientific method yang dikembangkan oleh
ilmuan barat.[32]
3. Metode Burhani
Metode
ini dikenal dengan sebagai bahasan logika (mantiq), karena banyak sekali
didalam alquran yang membicarakan pengetahuan melalui rasionalitas. Perintah
menggunakan akal menjadi indikasi yang jelas didalam pencarian ilmu, meskipun
ada ayat lain yang juga menjelaskan peranan hati nurani (intuisi) dalam mencari
kebenaran ilmu.
Dengan demikian, dengan menemukan kebenaran dan kebijaksaaan merupakan
manfaat dari ilmu logika yang mempunyai fungsi sebagai tuntunan akal kepada
arah yang benar serta sebagai alat bantu didalam memeriksa pengetahuan yang
tidak luput dari kesalahan.
1.
Metode
Irfani
Di dalam metode ini, kaum sufi mengandalkan aktivitas tazkiyah al-nafs untuk lebih mendekatkan
diri kepada Allah swt., dan ilmu hakiki hanya diraih dengan cara taqarub kepada sang pencipta. Dengan
demikian, metode ini dikembangkan dari isyarat wahyu, metode para nabi dan
rasul dan memberikan kenikmatan di dunia dan di akhirat.
Adapun ilmu yang didapatkan oleh kaum sufi adalah
sesuatu yang diisyaratkan kepada ilmu yang diperoleh seorang hamba melalui
ilham. Mereka memiliki pandangan bahwa segala sesuatu itu dapat diperoleh dan
dicapai hanya dengan penyaksian, intuisi hati dan penyucian jiwa, bukan melalui
daya nalar akal dan rasio.
SIMPULAN
Manusia diciptakan oleh Allah swt., sebagai khalifah di bumi ini mempunyai tugas
untuk terus menggali dan mencari ilmu pengetahuan yang bersumber dari alquran
dan hadis. Dengan kemapuan manusia dalam menggunakan akal, indera dan intuisi
diharapkan untuk terus mengkaji serta menelaah sumber ilmu pengetahuan yang
belum terpecahkan.
Kajian epistemologi merupakan cabang dari filsafat ilmu yang membahas tentang proses dan
prosedur menggali ilmu, metode untuk meraih ilmu yang benar, makna dan kriteria
kebenaran, serta sarana yang digunakan untuk mendapatkan ilmu.
Dengan merealisasikan
keseluruhan potensi yang diberikan menjadikan manusia lebih bersyukur kepada
Allah swt., maka tauhid merupakan prinsip dasar ilmu pengetahuan, yaitu prinsip
yang menggariskan kebenaran yang datangnya dari Allah swt.
Adapun
kemampuan manusia didalam menganlisis ayat-ayat melalui metode burhani,
tajribi, bayani dan irfani membuat ilmu pengetahuan terus berkembang sampai dengan sekarang. Ilmu pengetahuan ini masih
terus dikaji sehingga apa yang
didapatkan menjadi berkembang dan
senantiasa menjadikan jawaban-jawaban terhadap pertanyaan manusia. Ilmu pengetahuan ini menjadikan manusia untuk selalu percaya kebenaran yang datangnya dari Allah swt. serta membuat manusia untuk selalu tunduk
dan beribadah kepada-Nya.
DAFTAR PUSTAKA
al-Baqi’, Muhammad Fu’ad ‘Abd, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadz Al-Quran
Al-Karim, Indonesia: Maktabah Dahlan, t.th
Al-Ghazali, Ihya Ulumul ad-Diin, Kairo: Maktabah
al-Amira al-Syafafiyyah, 1909
Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Diin, New Delhi: Islamic book
Service, 2006
Al Rasyidin, Falsafah Pendidikan Islam; Membangun
Kerangka Ontologi,
Epistemologi,
dan Aksiologi Praktik Pendidikan, Bandung:
Ciptapustaka, 2012
Al Rasyidin dan Ja’far, Filsafat
Ilmu dalam Tradisi Islam, Medan : Perdana Publishing,
2015
Al-Sadr, Muhammad al-Baqir, Falsafatuna, Baghdad: Maktabah al-Wathaniyyah, 1977
al-Qattan, Manna
Khalil, Studi Ilmu-ilmu Qur’an,
Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa,
2001
Amnah, Metodologi dan Pendekatan
dalam Pengkajian Islam, Bandung: Citapustaka
Media, 2013
Audi, Robert, The Cambridge
Dictionary of Philoshopy, Cambridge: Cambridge
University
Press, 1999
Bagus, Loren, Kamus Populer Filsafat,
Jakarta: Gramedia, 1996
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, 1990
Ghulsyani, Mahdi, Filsafat
Sains Menurut Alquran, Bandung: Mizan, 1991
Hartoko, Dick, Kamus Populer
Filsafat, Jakarta: Rajawali, 1986
Hatta, Muhammad, Hubungan antara Akal, Penginderaan, Intuisi,
Wahyu dalam
Keilmuan Islam,
Jurnal al-Itqan, Vol. VI, 2015
Ibnu Sina, Ahwal
An-Nafs, ditahkik oleh Ahmad Fu’ad al-Ahwani, Mesir: Isal al-Babi
al-Halabi wal Syirkuh, 1952
Runes, Dagobart D., Dictionary of
Philosophy, New Jersey: Adams & Company, 1971
Kania, Dinar Dewi, Filsafat Ilmu, Jakarta: Gema Insani,
2013
Kertanegara,
Mulyadhi, Menyibak Tabir Kejahilan, Pengantar Epistemologi Islam,
Bandung: Mizan, 2003
Ladyman, James, Understanding
Philosopy of Science, New York: London: Routledge,
2002
Mubarak, Achmad, Jiwa dalam Alquran, Jakarta: Paramadina,
2000
Nasution, Harun, Islam ditinjau dari berbagai aspek,
Jakarta: UI Press, 1978
Nasution, Harun, Filsafat Agama, Jakarta: Bulan Bintang,
1973
Suparta, Munzier, Ilmu Hadits, Jakarta: Rajawali Press,
2011
Suriasumantri,
Jujun, Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar
Populer, Jakarta: Sinar
Harapan, 1982
Suriamantri, Jujun,
Ilmu dalam Persfektif, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1991
[1]Robert Audi, The Cambridge Dictionary of Philoshopy (Cambridge: Cambridge
University Press, 1999), h. 273 dan Al Rasyidin dan Ja’far, Filsafat Ilmu dalam Tradisi Islam (Medan
: Perdana Publishing, 2015), h. 79
[2] Amnah, Metodologi
dan Pendekatan dalam Pengkajian Islam (Bandung: Citapustaka Media, 2013),
h. 40
[3] Dagobart D. Runes, Dictionary of Philosophy (New Jersey: Adams & Company, 1971),
h. 33
[4]James Ladyman,Understanding Philosopy of Science (New York: London: Routledge, 2002), h. 5; Al
Rasyidin, Filsafat Ilmu dalam Tradisi
Islam, ibid,
h. 79
[5] Loren Bagus, Kamus Populer Filsafat (Jakarta: Gramedia, 1996), h. 212; Dick
Hartoko, Kamus Populer Filsafat
(Jakarta: Rajawali, 1986), h. 22 dan Al Rasyidin dan Ja’far, Filsafat Ilmu dalam Tradisi Islam,
ibid, h. 79
[6]Harun Nasution, Filsafat Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 30
[7]Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Sinar Harapan,
1982), h. 33 dan Al Rasyidin dan Ja’far, Filsafat
Ilmu dalam Tradisi Islam, ibid, h. 79
[8]Mulyadhi Kertanegara, Menyibak Tabir Kejahilan,
Pengantar Epistemologi Islam, (Bandung: Mizan, 2003), h. 1-2
[9]Dinar Dewi Kania, Filsafat Ilmu (Jakarta: Gema Insani, 2013), h. 90
[10]Al Rasyidin, Falsafah Pendidikan Islam; Membangun Kerangka Ontologi, Epistemologi,
dan Aksiologi Praktik Pendidikan (Bandung: Ciptapustaka, 2012), h. 32
[12]Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an (Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa, 2001),
h.37-38
[13]Munzier Suparta, Ilmu Hadits (Jakarta: Rajawali Press, 2011), h. 4
[14]Dinar Dewi Kania, Filsafat Ilmu, Ibid, h. 92-93
[15]Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspek (Jakarta: UI Press,1978), h. 9
[16]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:
Balai Pustaka, 1990), h. 14
[17]Achmad Mubarak, Jiwa dalam Alquran (Jakarta: Paramadina, 2000), h. 120 dan Al
Rasyidin dan Ja’far, Filsafat Ilmu dalam
Tradisi Islam, Ibid, h. 86
[18]Achmad Mubarak, Jiwa dalam Alquran, Ibid, h. 119-120 dan Al Rasyidin dan Ja’far, Filsafat Ilmu dalam Tradisi Islam, Ibid,
h. 87
[19]Al-Ghazali, Ihya
Ulumul ad-Diin (Kairo: Maktabah al-Amira al-Syafafiyyah, 1909), h.98
[20] Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains Menurut Alquran (Bandung:
Mizan, 1991), h. 110-114
[21] Muhammad Fu’ad ‘Abd
al-Baqi’, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadz
Al-Quran Al-Karim (Indonesia: Maktabah Dahlan, t.th), h. 34, 154-155,
456-457, 629
[22] Muhammad al-Baqir
Al-Sadr, Falsafatuna (Baghdad:
Maktabah al-Wathaniyyah, 1977), h. 88
[23] Ibnu Sina, Ahwal An-Nafs, ditahkik oleh Ahmad Fu’ad
al-Ahwani (Mesir: Isal al-Babi al-Halabi wal Syirkuh, 1952), h.96
[24]Dinar Dewi Kania, Filsafat Ilmu, Ibid, h. 104
[25]Achmad Mubarak, Jiwa dalam Alquran , ibid, h. 111-118 dan Al Rasyidin dan Ja’far, Filsafat Ilmu dalam Tradisi Islam, Ibid,
h. 89-90
[26]Al-Ghazali, Ihya
Ulum al-Diin, (New Delhi: Islamic book Service, 2006), h. 7-9
[27]Ibid, h. 15-16, 25-26
[28]Muhammad Hatta, Hubungan antara Akal, Penginderaan, Intuisi, Wahyu dalam Keilmuan Islam
(Jurnal al-Itqan, Vol. VI, 2015), h. 149
[29]Jujun Sumantri, Ilmu dalam Persfektif (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991), h.
56 dan 59
[30]Al Rasyidin dan Ja’far, Filsafat Ilmu dalam Tradisi Islam, Ibid, h. 93
- 99
[31]Ibid, h. 102-103
[32]Suriasumantri, Filsafat ilmu, ibid, h. 119-140
0 komentar:
Posting Komentar