a.
ILMU PENGETAHUAN
Manusia selalu berusaha menemukan kebenaran. Beberapa cara
ditempuh untuk memperoleh kebenaran, antara lain dengan menggunakan rasio
seperti para rasionalis dan melalui pengalaman atau empiris.
Pengalaman-pengalaman yang diperoleh manusia membuahkan prinsip-prinsip yang
lewat penalaran rasional, kejadian-kejadian yang berlaku di alam itu dapat
dimengerti.
Ilmu pengetahuan harus dibedakan dari fenomena alam. Fenomena
alam adalah fakta, kenyataan yang tunduk pada hukum-hukum yang menyebabkan
fenomena itu muncul. Ilmu pengetahuan adalah formulasi hasil aproksimasi atas
fenomena alam atau simplifikasi atas fenomena tersebut.
Struktur pengetahuan manusia menunjukkan tingkatan-tingkatan
dalam hal menangkap kebenaran. Setiap tingkat pengetahuan dalam struktur tersebut
menunjukkan tingkat kebenaran yang berbeda. Pengetahuan inderawi merupakan
struktur terendah dalam struktur tersebut. Tingkat pengetahuan yang lebih
tinggi adalah pengetahuan rasional dan intuitif. Tingkat yang lebih rendah
menangkap kebenaran secara tidak lengkap, tidak terstruktur, dan pada umumnya
kabur, khususnya pada pengetahuan inderawi dan naluri. Oleh sebab itulah
pengetahuan ini harus dilengkapi dengan pengetahuan yang lebih tinggi.
Pada tingkat pengetahuan rasional-ilmiah, manusia melakukan
penataan pengetahuannya agar terstruktur dengan jelas.
Ilmu dicirikan dengan pemakaian sistem dan metode ilmiah yang
dapat diberikan dalam berbagai bentuk. Metode ilmu dapat bersifat sangat
teoritis dan apriori dengan membuat unsur-unsur bangunannya sendiri. Metode
ilmu juga dapat bersifat empiris dengan unsur-unsur bangunan yang seakan-akan
diolah dari lingkungan.
Metode ilmiah yang dipakai dalam suatu ilmu tergantung dari
objek ilmu yang bersangkutan. Macam-macam objek ilmu antara lain fisiko-kimia,
mahluk hidup, psikis, sosio politis, humanistis dan religius.
Filsafat ilmu memiliki tiga cabang kajian yaitu ontologi,
epistemologi dan aksiologi.
1. Ontologi membahas tentang apa itu
realitas. Dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan, filsafat ini membahas tentang
apa yang bisa dikategorikan sebagai objek ilmu pengetahuan. Dalam ilmu
pengetahuan modern, realitas hanya dibatasi pada hal-hal yang bersifat materi
dan kuantitatif. Ini tidak terlepas dari pandangan yang
materialistik-sekularistik. Kuantifikasi objek ilmu pengetahuan berari bahwa
aspek-aspek alam yang bersifat kualitatif menjadi diabaikan.
2. Epistemologis membahas masalah
metodologi ilmu pengetahuan. Dalam ilmu pengetahuan modern, jalan bagi
diperolehnya ilmu pengetahuan adalah metode ilmiah dengan pilar utamanya
rasionalisme dan empirisme.
3. Aksiologi menyangkut tujuan
diciptakannya ilmu pengetahuan, mempertimbangkan aspek pragmatis-materialistis.
Dari semua pengetahuan, maka ilmu merupakan pengetahuan yang
aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologinya telah jauh lebih berkembang
dibandingkan dengan pengetahuan-pengetahuan lain, dilaksanakan secara konsekuen
dan penuh disiplin.[1] Kerangka filsafat di atas akan
memudahkan pemahaman mengenai keterkaitan berbagai ilmu dalam mencari
kebenaran.
‘Science’
merupakan bagian dari himpunan informasi yang termasuk dalam pengetahuan
ilmiah, dan berisikan informasi yang memberikan gambaran tentang struktur dari
sistem-sistem serta penjelasan tentang pola-laku sistem-sistem tersebut. Sistem
yang dimaksud dapat berupa sistem alami, maupun sistem yang merupakan rekaan
pemikiran manusia mengenai pola laku hubungan dalamtatanan kehidupan masyarakat
yang diinstitusionalisasikan. Dalam bahasa Inggris dapat dirumuskan sebagai
berikut: ‘Science is a sub-set of the information set on [human] scientific
knowledge that describes the structure of systems and provides explanation on
their behavioural patterns, wether natural or human institutionalized ones’.
Pergerakan yang dialami oleh pengetahuan sederhana menuju pada pembenaran
ilmu pengetahuan sehingga menjadi ilmu pengetahuan diperlukan sebuah landasan
dan proses sehingga ilmu pengetahuan (science atau sains) dapat dibangun.
Landasan dan proses pembangunan ilmu pengetahuan itu merupakan sebuah penilaian
(judgement) yang dilibatkan pada proses pembangunan ilmu pengetahuan (Ash-Shadr
1995).
Dalam
pembangungan ilmu pengetahuan juga diperlukan beberapa tiang penyangga agar
ilmu pengetahuan dapat menjadi sebuah paham yang mengandung makna
universalitas. Beberapa tiang penyangga dalam pembangunan ilmu pengetahuan itu
sebenarnya berupa penilaian yang terdiri dari ontologi, epistemologi dan
aksiologi (Jujun 1990: 2).
Perlunya
penilaian dalam pembangunan ilmu pengetahuan alasannya adalah agar pembenaran
yang dilakukan terhadap ilmu pengetahuan dapat diterima sebagai pembenaran
secara umum. Sampai sejauh ini, didunia akademik anutan pembenaran ilmu
pengetahuan dilandaskan pada proses berpikir secara ilmiah. Oleh karena itu,
proses berpikir di dunia ilmiah mempunyai cara-cara tersendiri sehingga dapat
dijadikan pembeda dengan proses berpikir yang ada diluar dunia ilmiah. Dengan
alasan itu berpikir ilmiah dalam ilmu pengetahuan harus mengikuti cara filsafat
pengetahuan atau epistemologi, sementara dalam epistemologi dasar yang menjiwai
dinamika proses kegiatan memperoleh pengetahuan secara ilmiah disebut filsafat
ilmu (Didi 1997: 3).
Peran Filsafat Ilmu Dalam
Ilmu Pengetahuan
Menurut
Didi (1997) ilmu pengetahuan (dalam hal ini pengetahuan ilmiah) harus diperoleh
dengan cara sadar, melakukan sesuatu tehadap objek, didasarkan pada suatu
sistem, prosesnya menggunakan cara yang lazim, mengikuti metode serta
melakukannya dengan cara berurutan yang kemudian diakhiri dengan verifikasi
atau pemeriksaan tentang kebenaran ilimiahnya (kesahihan).
Dengan
demikian pendekatan filsafat ilmu mempunyai implikasi pada sistematika
pengetahuan sehingga memerlukan prosedur, harus memenuhi aspek metodologi,
bersifat teknis dan normatif akademik. Pada kenyataannya filsafat ilmu
mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, perkembangannya seiring dengan
pemikiran tertinggi yang dicapai manusia.
Oleh
karena itu, filsafat sains modern yang ada sekarang merupakan output
perkembangan filsafat ilmu terkini yang telah dihasilkan oleh pemikiran
manusia. Filsafat ilmu dalam perkembangannya dipengaruhi oleh pemikiran yang
dipakai dalam membangun ilmu pengetahuan, tokoh pemikir dalam filsafat ilmu
yang telah mempengaruhi pemikiran sains modern yaitu Rene Descartes (aliran
rasionalitas) (Herman 1999) dan John Locke (aliran empirikal) (Ash-Shadr 1995)
yang telah meletakkan dasar rasionalitas dan empirisme pada proses berpikir.
Kemampuan rasional dalam proses berpikir dipergunakan sebagai alat
penggali empiris sehingga terselenggara proses “create” ilmu pengetahuan
(Hidajat 1984a).
Akumulasi
penelaahan empiris dengan menggunakan rasionalitas yang dikemas melalui
metodologi diharapkan dapat menghasilkan dan memperkuat ilmu pengetahuan
menjadi semakin rasional. Akan tetapi, salah satu kelemahan dalam cara berpikir
ilmiah adalah justru terletak pada penafsiran cara berpikir ilmiah sebagai cara
berpikir rasional, sehingga dalam pandangan yang dangkal akan mengalami kesukaran
membedakan pengetahuan ilmiah dengan pengetahuan yang rasional.
Oleh
sebab itu, hakikat berpikir rasional sebenarnya merupakan sebagian dari
berpikir ilmiah sehingga kecenderungan berpikir rasional ini menyebabkan
ketidakmampuan menghasilkan jawaban yang dapat dipercaya secara keilmuan
melainkan berhenti pada hipotesis yang merupakan jawaban sementara. Kalau
sebelumnya terdapat kecenderungan berpikir secara rasional, maka dengan
meningkatnya intensitas penelitian maka kecenderungan berpikir rasional ini
akan beralih pada kecenderungan berpikir secara empiris.
Dengan
demikian penggabungan cara berpikir rasional dan cara berpikir empiris yang
selanjutnya dipakai dalam penelitian ilmiah hakikatnya merupakan implementasi
dari metode ilmiah (Jujun 1990).
Berdasarkan
terminologi, empiris mempunyai pengertian sesuatu yang berdasarkan pemerhatian
atau eksperimen, bukan teori (Kamus Dewan 1994: 336) atau sesuatu yang
berdasarkan pengalaman (terutama yang diperoleh dari penemuan, percobaan,
pengamatan yang telah dilakukan) (Kamus Besar Bahasa Indonesia: 1995:262).
Dengan
demikian sesuatu yang empiris itu sangat tergantung kepada fakta (sesuatu yang
benar dan dapat dibuktikan), hanya saja fakta yang dibuktikan melalui
penginderaan dalam dunia nyata bukanlah fakta yang sudah sempurna telah
diamati, melainkan penafsiran dari sebagian pengamatan. Terjadinya sebagian
pengamatan pada fakta disebabkan oleh pengamatan manusia yang tidak sempurna
sehingga mengakibatkan semua penafsiran manusia mengandung penambahan yang mungkin
berubah dengan berubahnya pengamatan (Khan 1983).
Rasional
mempunyai pengertian sesuatu yang berdasarkan taakulan, menurut pertimbangan
atau pikiran yang wajar, waras (Kamus Dewan 1994: 1107) atau sesuatu yang
dihasilkan menurut pikiran dan timbangan yang logis, menurut pikiran yang
sehat, cocok dengan akal, menurut rasio, menurut nisbah (patut) (Kamus Besar
Bahasa Indonesia: 1995:820).
Dengan
demikian rasionalitas mencakup dua sumber pengetahuan, yaitu; pertama,
penginderaan (sensasi) dan kedua, sifat alami (fitrah) (Ash-Shadr 1995: 29).
Implikasi
dari sensasi dan fitrah di atas bisa berpengaruh pada bentuk pemahaman rasional
sebagai pandangan yang menyatakan bahwa pengetahuan tidak hanya didapatkan dari
proses penginderaan saja, karena proses penginderaan hanya merupakan upaya
memahami empirikal. Sementara, pemahaman rasional mengandung makna bahwa akal
manusia memiliki pengertian-pengertian dan pengetahuan-pengetahuan yang tidak
muncul dari hasil penginderaan saja.
Kematangan
berpikir ilmiah sangat ditentukan oleh kematangan berpikir rasional dan
berpikir empiris yang didasarkan pada fakta (objektif), karena kematangan itu
mempunyai dampak pada kualitas ilmu pengetahuan. Sehingga jika berpikir ilmiah
tidak dilandasi oleh rasionalisme, empirisme dan objektivitas maka berpikir itu
tidak dapat dikatakan suatu proses berpikir ilmiah. Karena itu sesuatu yang
memiliki citra rasional, empiris dan objektif dalam ilmu pengetahuan dipandang
menjamin kebenarannya, dengan demikian rasionalisme, empirisme dan objektivitas
merupakan dogma dalam ilmu pengetahuan (Hidajat 1984b).
Dogma
yaitu kepercayaan atau sistem kepercayaan yang dianggap benar dan seharusnya
dapat diterima oleh orang ramai tanpa sebarang pertikaian atau pokok ajaran
yang harus diterima sebagai hal yang benar dan baik, tidak boleh dibantah dan
diragukan. Paradigma ialah lingkungan atau batasan pemikiran pada sesuatu masa
yang dipengaruhi oleh pengalaman, pengetahuan, kemahiran, dan kesadaran yang
ada atau model dalam ilmu pengetahuan, kerangka berpikir (Kamus Dewan 1994: 311
& 978) dan (Kamus Umum Bahasa Indonesia 1995: 239 & 729).
Dari terminologi di atas dogma dan paradigma
sebenarnya mempunyai kaitan makna, karena paradigma merupakan kata lain dari
paradogma atau dogma primer.
Dogma
primer ialah prinsip dasar dan landasan aksiom yang kadar kebenarannya sudah
tidak dipertanyakan lagi, karena sudah self evident atau benar dengan
sendirinya (Hidajat 1984a). Akibatnya dari kebutuhan terhadap adanya paradigma
dalam membangun ilmu pengetahuan (sains) membawa dampak pada kebutuhan adanya
rasionalisme, empirisme dan objektivitas. Artinya, apabila pengetahuan yang
dibangun dan dikembangkan tidak memenuhi aspek rasional, empirikal dan objektif
maka kebenaran pengetahuannya perlu dipertanyakan lagi atau tidak mempunyai
kesahihan. Oleh karena itu membangun ilmu pengetahuan diperlukan konsistensi
yang terus berpegang pada paradigma yang membentuknya. Kearifan
memperbaiki paradigma ilmu pengetahuan nampaknya sangat diperlukan agar ilmu
pengetahuan seiring dengan tantangan zaman, karena ilmu pengetahuan tidak hidup
dengan dirinya sendiri, tetapi harus mempunyai manfaat kepada kehidupan dunia.
Oleh
karena itu kita tidak bisa mengatakan ilmu pengetahuan dapat berkembang oleh
dirinya sendiri, jika kita memilih berpikir seperti itu maka sebenarnya kita
telah berupaya memperlebar jurang ketidakmampuan ilmu pengetahuan menjawab
permasalahan kehidupan. Hal ini perlu dipahami secara bijak karena permasalahan
kehidupan saat ini sudah mencapai pada suatu keadaan yang kritis, yaitu krisis
yang kompleks dan multidimensi (intlektual, moral dan spiritual) yang berdampak
pada seluruh aspek kehidupan (Capra 1999).
Dengan
demikian jika kita mempertanyakan penyesuaian apa yang dapat dilakukan ilmu
pengetahuan dengan kenyataan kehidupan (realitas), maka perubahan paradigma
ilmu pengetahuan merupakan jawaban untuk mengatasi krisis yang cukup serius
(Kuhn 1970).
Nilai Nilai Yang
Ditimbulkan Science
- Teknologi,
Teknologi merupakan bagian dari himpunan informasi yang termasuk
dalampengetahuan ilmiah yang berisikan informasi preskriptif mengenai
penciptaansistem-sistem dan pengoperasian sistem-sistem ciptaan tersebut.
Pengertian yangdirumuskan ini tidak membatasi bahwa sistem yang dimaksud
hanyalah sistem-sistem fisik (physical systems). Bila dinyatakan dalam
bahasa Inggris, maka rumusan tentang teknologi terdahulu dapat dinyatakan
sebagai berikut: ‘Technology is a sub-set of the information set on
[human] scientific knowledge thatprovides prescriptive information on (a)
the creation of systems and (b) the operation ofthose systems’. Bila
informasi yang bersifat teknologis dioperasionalisasikan
(operationalized), artinya petunjuk-petunjuk yang terkandung di dalam
informasi tersebut diikuti dan dilaksanakan, terbentuklah sistem-sistem
baru hasil ciptaan orang ataumasyarakat yang mengoperasikan teknologi
tersebut. Orang sering memandang sistem-sistem yang terciptakan tersebut
sebagai teknologi juga, dan pandangan demikian sebaiknya tak diikuti,
karena menimbulkan kerancuan dalam pengembangan pemikiran selanjutnya.
Lebih tepat bila sistem yang tercipta itu dinyatakan sebagai fenomena
teknolgis atau technological phenomena. Teknologi yang berkorespondensi
dengan suatu fenomena teknologis bukanlah yang tampak atau dirasakan sebagai
fenomena teknologis tersebut, melainkan informasi preskriptif yang
memungkinkan dilaksanakannya tindakan-tindakan hingga suatu sistem yang
berupa fenomena teknologis tersebut terbentuk, atau teroperasikan.
Teknologi merupakan bagian dari ilmu pengetahuan yang terkait dengan
penciptaan sistem-sistem, sedangkan‘science’ merupakan bagian dari ilmu
pengetahuan yang terkait dengan penggambaran
dan penjelasan mengenai sistem-sistem yang telah ada.
- Materialis, Materialisme
adalah paham dalam filsafat yang menyatakan bahwa hal yang dapat dikatakan
benar-benar ada adalah materi. Pada dasarnya semua hal terdiri atas materi
dan semua fenomena adalah hasil interaksi material. Materi adalah
satu-satunya substansi. Sebagai teori materialisme termasuk paham ontologi
monistik. Materialisme berbeda dengan teori ontologis yang didasarkan pada
dualisme atau pluralisme. Dalam memberikan penjelasan tunggal tentang
realitas, materialisme berseberangan dengan idealisme. Materialisme adalah
ajaran yang menekankan keunggulan faktor-faktor material atas yang
spiritual dalam metafisika, teori nilai, fisiologi, epistimologi atau
penjelasan historis. Ada beberapa macam materialisme, yaitu materialisme
biologis, materialisme parsial, materialisme antropologis, materialisme
dialektis, dan materialisme historis.Materialisme adalah sistem pemikiran
yang meyakini materi sebagai satu-satunya keberadaan yang mutlak dan
menolak keberadaan apapun selain materi. Berakar pada kebudayaan Yunani
Kuno, dan mendapat penerimaan yang meluas di abad 19, sistem berpikir ini
menjadi terkenal dalam bentuk paham Materialisme dialektika Karl
Marx.
- Refleksi/reifikasi, Reifikasi
adalah kecenderungan untuk mewujudkan segala kebudayaan dalam
bentuk-bentuk, angka-angka atau kuantitas dan bentuk lahiriah. Kepuasan
pekerjaan diukur dari segi material, tingkah laku lahiriah, rupa, suara
dan bahasa yang bisa ditangkap oleh pancaindera. Hal ini tampak pada
laporan pembangunan yang memperlihatkan keberhasilan-keberhasilan dengan
angka, dalam kuantitas dan statistik perkembangan (time-series).
Kecenderungan ini seringkali berlebihan misalnya dengan mengukur perasaan
cinta, kesenangan, keindahan atau kebahagiaan. Karena itu yang bersifat
mental atau rohaniah tidak tampak dan dirasakan. Di sinilah terjadinya
pendangkalan pemaknaan kebudayaan. Sukses kesenian umpamanya, diukur
dengan nilai komersial suatu pertunjukan. Ekses yang tampak adalah
produksi massal dan komersialisasi barang-barang kesenian, yang menjadikan
manusia sebagai alat produksi dan objek pemerasan, atau ritualisasi
kegiatan ibadah atau bahkan komersialisasi agama.
- Manipulasi,
Manipulasi adalah kegiatan yang menyalahgunakan proses dan barang
kebudayaan untuk kepentingan yang rendah, misalnya demi keuntungan.
Manipulasi ini tampak dalam iklan yang mengelabui orang tentang suatu
produk, misalnya melebih-lebihkan khasiat suatu obat atau mengubah
informasi dampak negatif suatu barang konsumsi menjadi sesuatu yang
bermanfaat. Misalnya memperagakan rokok yang sebenarnya menggangu dan
merusak kesehatan menjadi simbol kejantanan atau gaya hidup pria yang
terhormat. Maksudnya adalah supaya barang itu laku dijual, padahal
pengonsumsian atau penggunaannya akan merugikan, tetapi hal itu
disembunyikan dengan mengelabui orang dengan video klip atau film-iklan.
Manipulasi itu sering terkesan merupakan pembohongan publik, namun
merupakan informasi yang efektif dan mengandung nilai komersial yang
tinggi. Di sini yang banyak dimanipulasi adalah hasil karya kesenian atau
dakwah keagamaan.
- Pragmatisme,
Pragmatisme adalah aliran pemikiran yang memandang bahwa benar tidaknya
suatu ucapan, dalil, atau teori, semata-mata bergantung kepada berfaedah
atau tidaknya ucapan, dalil, atau teori tersebut bagi manusia untuk
bertindak dalam kehidupannya. Ide ini merupakan budaya dan tradisi berpikir
Amerika khususnya dan Barat pada umumnya, yang lahir sebagai sebuah
upaya intelektual untuk menjawab problem-problem yang terjadi pada awal
abad ini. Pragmatisme mulai dirintis di Amerika oleh Charles S.
Peirce (1839-1942), yang kemudian dikembangkan oleh William James
(1842-1910) dan John Dewey (1859-1952). Pragmatisme tak dapat dilepaskan
dari keberadaan dan perkembangan ide-ide sebelumnya di Eropa, sebagaimana
tak bisa diingkari pula adanya pengaruh dan imbas baliknya terhadap
ide-ide yang dikembangkan lebih lanjut di Eropa. William James mengatakan
bahwa Pragmatisme yang diajarkannya, merupakan “nama baru bagi sejumlah
cara berpikir lama”. Dan dia sendiri pun menganggap pemikirannya sebagai
kelanjutan dari Empirisme Inggris, seperti yang dirintis oleh Francis
Bacon (1561-1626), yang kemudian dikembangkan oleh Thomas Hobbes
(1558-1679) dan John Locke (1632-1704). Pragmatisme, di
samping itu, telah mempengaruhi filsafat Eropa dalam berbagai bentuknya,
baik filsafat Eksistensialisme maupun Neorealisme dan
Neopositivisme. Pragmatisme, tak diingkari telah menjadi semacam ruh
yang menghidupi tubuh ide-ide dalam ideologi Kapitalisme, yang telah
disebarkan Barat ke seluruh dunia melalui penjajahan dengan gaya lama
maupun baru. Dalam konteks inilah, Pragmatisme dapat dipandang berbahaya
karena telah mengajarkan dua sisi kekeliruan sekaligus kepada dunia–yakni
standar kebenaran pemikiran dan standar perbuatan manusia– sebagaimana
akan diterangkan nanti. Pragmatisme dianggap juga salah satu aliran yang
berpangkal pada Empirisme, kendatipun ada pula pengaruh Idealisme Jerman
(Hegel) pada John Dewey, seorang tokoh Pragmatisme yang dianggap pemikir
paling berpengaruh pada zamannya. Selain John Dewey, tokoh Pragmatisme
lainnya adalah Charles Pierce dan William James.
- Individualisme,
Individualisasi adalah kecenderungan memecah masyarakat menjadi
individu-individu yang dikemudikan oleh kepentingan pribadi
(self-interest) yang sempit. Sebenarnya dampak individualisasi itu perlu
dibedakan antara individualisme dan egoisme. Individualisme adalah paham
yang menghargai individu dan menghormati diri pribadi seseorang yang
otonom yang memiliki hak-hak asasi dalam suatu negara atau masyarakat.
Individualisme itu melahirkan penghargaan pada diri sendiri, tetapi harus juga
menghargai individu yang lain. Individualisme adalah juga penghargaan pada
hak-hak pribadi, misalnya hak milik dan kebebasan. Tetapi hak milik dan
kebebasan seseorang itu dibatasi oleh hak milik dan kebebasan orang lain.
Karena itu, maka individualisme menghasilkan kebebasan dan otonomi
individu tetapi juga sekaligus kewajiban-kewajiban asasi individu terhadap
masyarakat. Dampak lain individualisasi adalah egoisme, yaitu sikap yang
mementingkan diri sendiri dengan mengabaikan kepentingan orang lain. Egoisme
ini adalah penyimpangan dari tujuan kebudayaan, sedangkan individualisme,
jika dipahami dan dipraktekkan secara benar, masih berada dalam ruang
lingkup kebudayaan, karena individualisme memberikan penghargaan dan
pemuliaan kepada manusia sebagai individu. Namun individualisme ini bisa
kebablasan menjadi egoisme karena melepaskan dirinya dari masyarakat.
Karena itu maka individualisme harus diimbangi dengan prinsip-prinsip
komunitarian karena individu itu tidak mungkin ada atau berfungsi tanpa
komunitas. Kombinasi antara individualisme dan komunitarianisme, yang
merupakan harmonisasi, jalan tengah dan moderasi itulah yang membentuk
kebudayaan.[2]
b.
ETIKA[3]
Etika
berasal dari bahasa Yunani “ethos”, yang berarti tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang,
kebiasaan, adat, watak, perasaan, sikap, dan cara berpikir. dalam bentuk jamak “ta etha” artinya adat kebiasaan. Dalam arti terakhir inilah
terbentuknya istilah etika yang oleh Aristoteles dipakai untuk menunjukkan
filsafat moral. Etika berarti: ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu
tentang adat kebiasaan. Ada juga kata moral dari bahasa Latin yang artinya sama
dengan etika.
Secara
istilah etika memunyai tiga arti: Pertama,
nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau
suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Arti ini bisa disebut sistem
nilai. Misalnya etika Protestan, etika Islam, etika suku Indoan. Kedua, etika berarti
kumpulan asas atau nilai moral (kode etik). Misalnya kode etik kedokteran, kode
etik peneliti, dan lain-lain. Ketiga,
etika berati ilmu tentang yang baik atau buruk. Etika menjadi ilmu bila
kemungkinan-kemungkinan etis menjadi bahan refleksi bagi suau penelitian
sistematis dan metodis. Di sini sama artinya dengan filsafat moral.
Amoral berarti tidak berkaitan dengan moral, netral etis. Immoral berarti tidak
bermoral, tidak etis. Etika berbeda dengan etiket.
Yang terakhir ini berasal dari kata Inggris etiquette,
yang berarti sopan santun. Perbedaan keduanya cukup tajam, antara lain: etiket
menyangkut cara suatu perbuatan harus dilakukan, etika menunjukkan norma
tentang perbuatan itu. Etiket hanya berlaku dalam pergaulan, etika berlaku baik
baik saat sendiri maupun dalam kaitannya dengan lingkup sosial. etiket bersifat
relatif, tergantung pada kebudayaan, etika lebih absolut. Etiket hanya
berkaitan dengan segi lahiriyah, etika menyangkut segi batiniah.
Moralitas
merupakan suatu fenomena manusiawi yang universal, menjadi ciri yang membedakan
manusia dari binatang. Pada binatang tidak ada kesadaran tentang baik dan
buruk, yang boleh dan yang dilarang, tentang yang harus dan tidak pantas
dilakukan. Keharusan memunyai dua macam arti: keharusan alamiah (terjadi dengan
sendirinya sesuai hukum alam) dan keharusan moral (hukum yang mewajibkan
manusia melakukan atau tidak melakukan sesuatu).
Macam-macam
Etika
a. Etika Deskriptif
Hanya
melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas, misalnya adat kebiasaan suatu
kelompok, tanpa memberikan penilaian. Etika deskriptif memelajari moralitas
yang terdapat pada kebudayaan tertentu, dalam periode tertentu. Etika ini
dijalankan oleh ilmu-ilmu sosial: antropologi, sosiologi, psikologi, dan
lain-lain, jadi termasuk ilmu empiris, bukan filsafat.
b. Etika Normatif
Etika
yang tidak hanya melukiskan, melainkan melakukan penilaian (preskriptif:
memerintahkan). Untuk itu ia mengadakan argumentasi, alasan-alasan mengapa
sesuatu dianggap baik atau buruk. Etika normatif dibagi menjadi dua, etika umum
yang memermasalahkan tema-tema umum, dan etika khusus yang menerapkan
prinsip-prinsip etis ke dalam wilayah manusia yang khusus, misalnya masalah
kedokteran, penelitian. Etika khusus disebut juga etika terapan.
c. Metaetika
Meta
berati melampaui atau melebihi. Yang dibahas bukanlah moralitas secara
langsung, melainkan ucapan-ucapan kita di bidang moralitas. Metaetika bergerak
pada tataran bahasa, atau memelajari logika khusus dari ucapan-ucapan etis.
Metaetika dapat ditempatkan dalam wilayah filsafat analitis, dengan pelopornya
antara lain filsuf Inggris George Moore (1873-1958). Filsafat analitis
menganggap analisis bahasa sebagai bagian terpenting, bahkan satu-satunya,
tugas filsafat.
Salah
satu masalah yang ramai dibicarakan dalam metaetika adalah the is/ought
question, yaitu apakah ucapan normatif dapat diturunkan dari ucapan faktual.
Kalau sesuatu merupakan kenyataan (is), apakah dari situ dapat disimpulkan
bahwa sesuatu harus atau boleh dilakukan (ought).
Dalam
dunia modern terdapat terutama tiga situasi etis yang menonjol. Pertama, pluralisme moral, yang timbul
berkat globalisasi dan teknologi komunikasi. Bagaimana seseorang dari suatu
kebudayaan harus berperilaku dalam kebudayaan lain. ini menyangkut lingkup
pribadi. Kedua, masalah etis baru
yang dulu tidak terduga, terutama yang dibangkitkan oleh adanya temuan-temuan
dalam teknologi, misalnya dalam biomedis. Ketiga,
adanya kepedulian etis yang universal, misalnya dengan dideklarasikannya HAM
oleh PBB pada 10 Desember 1948.[4]
[1]
Suriasumantri, Jujun S. (1998). Filsafat
Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Cetakan ke-11. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan
[2] Lihat:
http://syiena.wordpress.com/2008/03/21/filsafat-ilmu-pengetahuan/
[3] Disarikan dari K. Bertens.
(2000). Etika. Jakarta: Gramedia. Hal. 3-45 ; Lihat: http://bermenschool.wordpress.com/2008/11/07/etika-filsafat-moral/
[4]
http://bermenschool.wordpress.com/2008/11/07/etika-filsafat-moral/
0 komentar:
Posting Komentar